BERANDA · MENU · ARTIKEL · KAJIAN IPTEK

Dialog Pra-Muktamar IPM Parepare


Parepare - Ikatan Pelajar Muhammadiyah Parepare menyelenggarakan dialog pra-Muktamar Ikatan Pelajar Muhammadiyah Parepare pada Kamis (27/10/2016). Dengan mengusung tema, “Bernostalgia untuk Menata IPM Kota Parepare Berkemajuan”.

Pelaksanaan dialog pra-Muktamar tersebut dihadiri oleh para alumni pimpinan IPM dari berbagai angkatan. Dalam kegiatan ini salah satu narasumber yang sempat hadir yaitu Kakanda Ir.H.Yasser Latief, CPA selaku kader IPM di masanya. Saat ini, Kakanda Ir.H.Yasser Latief, CPA aktif  dan menjabat sebagai Ketua BPH Universitas Muhammadiyah Parepare.

Dalam berlangsungnya pelaksanaan dialog, memberikan testimoni serta nostalgia bagi seluruh kader dan alumni. Kurangnya waktu akan dilanjutkan pada pertemuan yang akan datang. Seperti pada saat milad dan tentu akan dibuat lebih meriah.

“Kader alumni yang hadir berasal dari berbagai latar belakang profesi. Seperti politisi, akademisi, birokrat, LSM, mubaligh, pendidik, semuanya berbaur menjadi satu bersama Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Parepare.” Ujar Muhammad Furqan Ramli.

Muhammad Furqan Ramli selaku Ketua Umum Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah  Sulawesi Selatan menyimpulkan dari hasil dialog pra-Muktamar bahwa SPI memerlukan beberapa sentuhan dan penyesuaian dengan budaya lokal dalam implementasinya agar menciptakan kader-kader IPM memiliki semangat dalam berjuang. (alz)

Artikel keren lainnya:

Begini Aturan Terbaru Perubahan AD/ART


Yogyakarta - Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) IPM lazimnya dibahas pada setiap Muktamar. Namun, pada Muktamar Samarinda mendatang, AD/ART IPM tidak lagi dibahas melainkan hanya disahkan. Hal ini dilakukan berdasarkan Konpiwil 2016 di Surabaya.

Dalam Keputusan Induk Konpiwil IPM tahun 2016 bagian Komisi A disebutkan :
"Pada komisi ini mengesahkan Draf Anggaran Dasar IPM dan Tim 7 Perumus Anggaran Rumah Tangga yang selanjutnya hasil draf atau rumusan tersebut akan disahkan dalam Muktamar ke-20."

Sekjend PP IPM, Azaki Khoirudin menyatakan bahwa sudah seharusnya AD/ART IPM tidak diubah di setiap Muktamar. Perubahan yang terlampau sering pada komponen pokok organisasi membuat konsolidasi organisasi tidak mencapai struktur terbawah dengan baik. "AD/ART belum sampai ke ranting kok sudah dibahas lagi. Paling tidak 10 tahun baru perlu dibahas lagi", tandasnya.

"Diharapan setelah muktamar samarinda, muktamar berikutnya tak lagi membahas AD/ART kecuali ada suatu hal yang mendesak dan mengancam eksistensi organisasi IPM. Sehingga IPM sebagai OKP Terbaik, memiliki sistem gerakan yang rapi, kokoh, profesional, dan terdepan", ujar Azaki. (nab)

Artikel keren lainnya:

IPM Kab. Magelang Gelar Pelatihan Entrepreneurship


Magelang - “Terwujudnya Komunitas
Pelajar yang Kreatif, sehingga mampu menjadi Pelajar Muhammadiyah Mandiri”, tema tersebut diusung oleh Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PD IPM) Kabupaten Magelang dalam acara yang bertajuk Pelatihan Pelajar Kreatif (PPK). Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, yakni Sabtu-Ahad (22-23/10) bertempat di SMK Muhammadiyah Salam.

Seketaris 1 Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Magelang, Agus Pranata, S.Ag. sangat mengapresiasikan kegiatan ini. “Kegiatan tersebut sangat bermanfaat, khususnya bagi para pelajar dikarenakan dapat mengasah kreativitas, kemandirian serta dapat menyalurkan minat dan bakat dari pelajar khususnya,” ungkap Agus Pranata dalam pesan sambutannya.

Pelatihan ini dihadiri oleh perwakilan SMA/SMK/MA Muhammadiyah se-Kabupaten Magelang. Ketua Umum PD IPM Kab. Magelang, Taufiq Al Muhajirin mengatakan bahwa dunia itu sudah sangat berkembang pesat, maka generasi muda harus berinovasi dan kreatif dengan memanfaatkan potensinya dan mengembangkan diri untuk mewujudkan ekonomi umat dan bangsa yang berkelanjutan.

Materi dalam pelatihan tersebut meliputi Entrepreneurship, Manajemen Usaha, Market Study dan Peluang Usaha. “Target pelatihan PPK adalah membentuk komunitas dan wirausaha yang mandiri di kalangan pelajar Muhammadiyah Magelang,” ujar Ketua Bidang Kewirausahaan, Fikriadi.

Kegiatan tersebut pertama kali diadakan oleh Bidang Kewirausahaan dalam sejarah PD IPM Kabupaten Magelang, yang baru diresmikan pada saat Musyawarah Daerah ke-15 bertempatan di Mungkid. (A. Rizal)

Artikel keren lainnya:

Reposisi Peran Gerakan Pelajar Muhammadiyah

Setelah reformasi
, ide untuk mengembalikan nama IPM kembali bergulir. Perdebatan ini berlangsung dengan sangat intens dalam berbagai forum tertinggi organisasi. Perdebatan tentang perubahan nama ini misalnya muncul dalam Muktamar 2000 di Jakarta, 2006 di Medan dan 2008 di Surakarta. Dan akhirnya pada Muktamar di Surakarta 2008 itulah IRM secara resmi mengembalikan nomenklaturnya menjadi IPM setelah melalui berbagai perdebatan yang cukup panjang.


Setidaknya ada dua hal yang mendorong gagasan perubahan nomenklatur ini. Pertama, Reformasi yang memberikan kembali kebebasan bagi berbagai elemen masyarakat untuk menegaskan kembali identitas dirinya. Pada zaman orde baru, semua organisasi terkungkung oleh azas tunggal, yang mengharuskan semua organisasi berazaskan pancasila. Bagi yang tidak menggunakan azas tersebut, maka diberikan pilihan untuk mengubah azasnya atau membubarkan diri. Represi pemerintah untuk melakukan pengaturan dan penyelarasan organisasi ini juga terjadi pada organisasi berbasis pelajar. Pada awal tahun 90-an pemerintah melalui menteri pemuda dan olahraga menegaskan hanya mengakui OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) sebagai satu-satunya organisasi pelajar di sekolah. Kemudian organisasi diluar OSIS dipaksa untuk ‘menyesuaikan diri’. Mengubah nama, atau membubarkan diri. IPM kemudian berubah menjadi IRM, IPNU dengan P = Pelajar berubah menjadi IPNU dengan P = Putera. Hanya PII yang menolak mengubah nama dan memilih untuk berjalan secara underground. Latar belakang ini kemudian setelah reformasi terjadi, elemen sosial kembali mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya. Hal ini mendorong lebih besar keinginan untuk mengembalikan nomenklatur, dan isu ini kemudian menjadi isu penting karena perubahan yang dulu terjadi dianggap sebuah pemaksaan dan strategi untuk menjawab kondisi saat itu.

Faktor kedua yang mendorong kembalinya IRM menjadi IPM adalah anjuran dari PP Muhammadiyah. Sejak Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 di Malang, PP Muhammadiyah selalu mendorong IRM untuk kembali menjadi IPM. Salah satu alasan PP Muhammadiyah menganjurkan perubahan ini adalah penyelarasan gerakan. Bagi Muhammadiyah, ortom adalah perpanjangan (proxy) dakwah Muhammadiyah bagi segmen khusus yang tidak mampu secara langsung ditangani oleh Muhammadiyah. Maka IRM seharusnya fokus untuk menggarap pelajar, IMM untuk Mahasiswa, Pemuda dan NA untuk pemuda dan pemudi. IPM seyogyanya berkonsentrasi untuk membantu sekolah dalam pengembangan diri pelajar Muhammadiyah. Anjuran ini selalu disampaikan PP Muhammadiyah dalam berbagai forum IPM dan bahkan melalui surat edaran resmi PP Muhammadiyah.

Di internal organisasi pendapat PP IRM berbeda-beda mengenai pentingnya perubahan nomenklatur dari IRM ke IPM. Sebagian menyatakan bahwa berubahnya IPM ke IRM adalah sebuah strategi yang cerdas dan bukan sebagai sebuah ketidakberdayaan menghadapi desakan pemerintah. Berubahnya IPM menjadi IRM adalah sebuah kesempatan dan strategi untuk memperluas wilayah kerja, dan kontribusi IPM bagi generasi muda. Karena dengan menggunakan nomenklatur remaja berarti IPM telah mengambil segmen yang lebih luas daripada pelajar. Maka ruang gerak IRM lebih luas daripada IPM, tidak hanya kegiatan di sekolah namun juga untuk menjawab tantangan dan permasalahan sosial yang terjadi di kalangan remaja. Bagi sebagian orang kemudian isu perubahan nomenklatur menjadi tidak signifikan. Karena IRM dirasa lebih inklusifdaripada IPM. IRM adalah penyelamat eksistensi IPM, dan merupakan solusi cerdas untuk permasalahan remaja yang semakin hari semakin berat. Salah satu pernyataan yang muncul mengenai hal ini misalnya adalah bagaimana peran ranting dan cabang IRM non sekolah yang berbasis di masjid dan desa-desa, jika nomenklatur IRM dikembalikan menjadi IPM?

Sementara sebagian lain (terutama yang pernah di IPM sebelum perubahan nama berpendapat bahwa perubahan nama adalah sebuah kecelakaan sejarah dan ketidakberdayaan ormas saat itu dari desakan pemerintah. Kritikan lainnya adalah karena kata remaja dianggap kurang ideologis daripada kata pelajar. Hal ini akan berpengaruh terhadap orientasi organisasi yang kemudian menjadi tidak fokus, karena terlalu banyak isu yang ingin direspon dan diberikan solusi. Sementara konstituen dan tugas utama organisasi pelajar untuk melakukan pendampingan dan pemberdayaan di kalangan pelajar kemudian menjadi tidak berjalan dengan maksimal karena fokus organisasi yang terbagi ke dalam banyak hal.


Nama adalah simbol, Perubahan adalah pilihan
Jika diamati dari budaya dan isu yang dikembangkan dalam masing-masing dekade, perubahan nama dari IPM ke IRM memang berpengaruh terhadap orientasi dan fokus organisasi secara keseluruhan. Walau bagaimanapun nama adalah identitas organisasi yang akan mempengaruhi nilai-nilai dan wacana yang dikembangkan dalam sebuah organisasi. Nama, seperti juga logo, semboyan, lagu dan pranata lain sebetulnya merepresentasikan dan akan mempengaruhi nilai-nilai yang dikembangkan dalam organisasi tersebut. Beberapa hal tersebut adalah sistem penanda (sign system) untuk menunjukkan identitas dari masing-masing gerakan. Paling tidak ini yang saya amati terjadi di IPM/IRM.

Jargon yang sangat terkenal di IPM adalah 3 Tertib, yaitu Tertib Ibadah, Tertib Belajar dan Tertib Berorganisasi. Jargon ini tentunya merepresentasikan fokus gerakan IPM saat itu yang sepertinya bertitikberat kepada pengembangan kapasitas pribadi anggotanya. Dalam hal ini pelajar diposisikan sebagai subjek dan objek dari gerakan itu sendiri. IPM fokus kepada anggotanya sendiri. Maka tidak heran jika varian kegiatan yang dilaksanakan oleh IPM mengarah ke arah sana. Program-program yang dilaksanakan oleh IPM misalnya adalah Korps Ilmiah dan pengembangan studi di kalangan pelajar. Selain program-program yang sejak pertama kali didirikan ada, yaitu perkaderan. Karena program terakhir adalah perwujudan dari alasan utama kenapa IPM didirikan pada tahun 1961 yaitu untuk membendung ideologi komunis di kalangan pelajar. Namun secara umum ketika bergerak dalam IPM di awal program fokus dalam pengembangan pelajar dan pengembangan dirinya.

Tentunya hal ini berbeda dengan semboyan lain misalnya yang berkembang ketika IPM telah berganti nama menjadi IRM. Gerakan Pelajar Kritis Transformatif adalah paradigma gerakan yang dipilih, yang memposisikan pelajar sebagai subyek dan realitas sosial sebagai objek yang harus digarap dan diberikan intervensi. Ini juga misalnya yang mendorong IRM untuk ikut andil dalam isu GATK (gerakan aktif tanpa kekerasan), atau pendirian rumah-rumah singgah di beberapa pojok kota Jakarta bekerjasama dengan ‘Aisyiyah, juga misal masuknya kurikulum analisis sosial di dalam sistem perkaderan IRM. Pilihan ini memang memungkinkan IRM untuk merespon permasalahan sosial yang terjadi di rentang usia kelompoknya (remaja). Perbincangan tidak lagi sekedar soal intelektualitas, dan ketertiban untuk menjadi seorang pelajar yang baik, namun melebar menjadi aktifitas gerakan yang mampu menjawab dan memberi kontribusi terhadap lingkungan sekitar. Ini adalah nilai yang dikembangkan yang dipengaruhi oleh pilihan-pilihan tersebut, termasuk pilihan nomenklatur yang dijadikan sebagai nama gerakan.

Gerakan Pelajar Kritis Transformatif adalah pilihan gerakan yang cerdas dan strategis yang dipilih oleh IRM. Namun pilihan inipun tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik yang paling kuat adalah apakah IRM dengan basis gerakan pelajar mampu menjawab ekspektasi yang diharapkan dari gerakan krtitis transformatif ini? Kritikan lain adalah gap yang terjadi antara pemikiran yang berat dan profetis ini dengan realitas basis gerakan IPM di tingkat grass root. Apakah tidak terlalu berat?


Perubahan nama, sebuah awal
Dan pertanyaan terbesar yang mesti dijawab oleh semua pihak adalah apa sebetulnya yang paling signifikan dari isu perubahan nomenklatur ini? Apakah berubahnya IRM kembali ke IPM sekedar perubahan nama? Apakah perbedaan dari IPM format lama dengan IPM saat ini atau dengan IRM? Apakah IPM baru ini akan melanjutkan perubahan paradigma yang sudah dilakukan IRM atau sama sekali baru? Beberapa pertanyaan ini selalu muncul saat mendiskusikan penting atau tidaknya mengembalikan nomenklatur IRM menjadi IPM. Dan pertanyaan ini akan merangsang ikatan untuk terus merefleksikan dan memikirkan ulang orientasi gerakannya.

Sebuah gerakan terdiri dari berbagai hal yang membangun aktifitasnya, ide dan nilai adalah dasar yang sangat penting untuk hal itu. Pendefinisian ide dan nilai gerakan yang jelas dan tuntas akan menjadi petunjuk arah yang sangat penting bagi tercapainya cita-cita gerakan itu sendiri. Kedua, adalah struktur dan sistem gerakan. Tanpa struktur yang mencerminkan ide dan nilai gerakan maka struktur malah akan menjadi masalah dalam pelaksanaannya. Misalnya jika ide gerakan menjunjung kesetaraan dan keberpihakan maka akan menjadi masalah jika struktur ataupun aturan yang ada dalam organisasi tidak mencerminkan hal tersebut atau justru bertolak belakang.

Dalam manajemen strategis, untuk tercapainya tujuan sebuah gerakan harus melalui berbagai fase. Dari mulai fase perumusan ide dan gagasan gerakan, pelaksanaan dan review dari ide  tersebut. Dan semua itu memerlukan strateginya masing-masing. Dan semuanya perlu dirumuskan dan direncanakan secara seksama. Salah satu kelemahan dari IPM adalah sangat serius dalam perumusan ide gerakan namun terkadang lemah dalam pelaksaannya. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya institusionalisasi  ide dan gagasan yang berkembang dalam gerakan. Ide Gerakan Kritis Transformatif yang sudah muncul dan ditetapkan sejak tahun 2000, namun proses diseminasi dan institusionalisasi dari ide tersebut tidak berjalan dengan baik. Salah satu institusi yang paling strategis untuk melakukan diseminasi ide Gerakan Kritis Transformatif adalah melalui sistem perkaderan (SPI), dan kegiatan yang dapat melakukan itu adalah TM dari TM1-TMU dan pelatihan fasilitator. Sehingga ini bisa dijadikan indikator tersebar atau tidaknya ide gerakan tersebut dalam seluruh anggota gerakan. Namun ini terjadi dengan tidak maksimal dalam pelaksanaannya. Pelatihan Fasilitator Nasional hingga tahun 2011 ini baru diadakan dua kali, yaitu pada tahun 2003 dan 2008. Maka tidak heran jika Pimpinan Pusat hingga saat ini sering kewalahan untuk memenuhi permintaan fasilitator untuk pelatihan di tingkat provinsi, karena jumlah fasilitator yang kurang. Di lain pihak ide gerakan kritis transformatif akhirnya menjadi konsumsi sebagian elit organisasi tapi tidak menjadi pemahaman yang massif setiap anggota. Padahal betapa dahsyat bila pemahaman ini menjadi pegangan setiap anggota dan mampu melaksanakannya dalam tatanan kehidupan sehari-hari.

Selain melakukan institusionalisasi gerakan juga perlu melakukan perubahan secara komprehensif. Konsep yang brilian tidak akan berhasil tanpa melakukan aktifitas dan follow up yang konsisten dan sesuai dengan idenya. Dalam IPM/IRM banyak sekali buku panduan yang telah dihasilkan, namun terkadang buku tersebut hanya stuck menjadi kebanggaan di tingkat wilayah dan daerah namun belum mampu terlaksana dengan massif di tataran grass root. Maka sebetulnya dalam IPM jika gerakan kritis transformatif ini ingin menjadi massif dan benar-benar menjadi gerakan yang dapat menjadi ruh kegiatan IPM dari Ranting hingga pusat, seharusnya pelatihan fasilitator dan proses perkaderan menjadi program utama yang harus dilakukan.

Hal lain yang perlu diperhatikan oleh IPM adalah grandstrategi yang jarang dijadikan acuan untuk pengembangan organisasi. Ini mungkin kelemahan yang juga sering terjadi di negara kita. Setiap pemimpin dalam setiap periode terkadang terjebak untuk menunjukkan pencapaian dan legacynya regardless terhadap pembacaan yang telah dilakukan generasi sebelumnya. Bukan berarti tidak ada grandstrategi, atau rencana pencapaian jangka panjang, karena jika kita lihat dalam keputusan dan rumusan materi di setiap Muktamar selalu ada pencapaian yang diharapkan dalam satu periode ke periode lainnya. Namun yang masih minim adalah bagaimana menerjemahkan target pencapaian tersebut ke dalam program kerja yang fokus, terukur, dapat dilakukan dan tergambar dalam waktu yang sangat sempit.

Satu kepempimpinan muktamar yang hanya 2 tahun, sebetulnya  periode efektif untuk bekerja dan mendelivery issu muktamar hanyalah 15 bulan. Sisanya dilakukan untuk melakukan konsolidasi, mengadakan acara musyawarah tahunan rutin dan kunjungan ke wilayah dan kegiatan lainnya. Sementara bidang yang harus dikerjakan adalah 9 bidang, dengan berbagai kegiatan yang mesti dilakukan. Anda bisa bayangkan waktu seperti itu untuk melaksanakan banyak sekali program kerja. Belum lagi sumber dana yang tersedia sangat minim. Maka tidak heran apabila hal ini memaksa pimpinan untuk terpenjara dengan hal teknis namun terlupa dari hal–hal yang bersifat strategis dari pencapaian organisasi.

Maka perubahan nama, adalah sebuah awal untuk melakukan perubahan yang menyeluruh dari wajah gerakan. Dan ini tentu tidak mudah dan tidak bisa dilaksanakan dalam jangka waktu pendek. Perubahan yang menyeluruh harus meliputi perubahan ide diikuti oleh perubahan struktur dan ide gerakan, yang kemudian akan menumbuhkan budaya dan nilai organisasi yang aktual dalam praktek berorganisasi sesuai dengan yang dicita-citakan.


Agenda Terserak
Setelah perubahan nama, perubahan lain tentunya perlu diikuti agar perubahan ini memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi gerakan. Hal ini penting agar perubahan bisa dilakukan dengan lebih cepat sehingga selalu sesuai dengan tantangan yang sedang dihadapi. Jika tidak maka gerakan akan tertatih dan ditinggalkan oleh gerakan pelajar lain yang lebih muda dan baru, meskipun mungkin tidak memiliki filosofi yang kuat seperti yang dimiliki oleh IPM. Dalam persaingan menghadapi kompetitor-kompetitor inilah IPM harus bisa terus berinovasi untuk mengemas pola dan program gerakannya agar sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman serta kebutuhan dari konstituen utama IPM itu sendiri yaitu pelajar dan Muhammadiyah. Gagasan dan paradigma yang bagus saja tidak cukup namun harus diikuti dengan strategi pelaksanaan yang sesuai dengan karakteristik dari konstituen/kostumerIPM yaitu pelajar. Seperti di pasar siapa yang paling bisa memenuhi kebutuhan pasar dan memberikan nilai tambah dan sesuai dengan kebutuhan konsumen maka ia akan mendapatkan tempat di hati konstituen sendiri.

Maka menurut saya ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh IPM agar tetap bisa terus menjawab kebutuhan pelajar, terutama terkait dengan perubahan nomenklatur ini:
Pertama, menegaskan paradigma gerakan yang telah dipilih. Sampai saat ini Gerakan Kritis Transformatif masih merupakan dasar gerakan IPM yang bagi saya khas dibanding gerakan pelajar yang lainnya. Namun pilihan ini kurang terlembagakan dengan baik dan tersosialisasikan dengan massifkepada seluruh aktifis gerakan. Pemahaman mengenai kesadaran kritis seharusnya menjadi pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap kader IPM di manapun. Dan ini lebih memungkinkan saat ini dengan adanya teknologi internet dan situs jejaring sosial. Wacana-wacana yang beredar di tingkat pusat dan wilayah bisa dengan mudah sampai kepada kader IPM di manapun, dengan cepat murah dan mudah. Namun perlu diperhatikan bahwa hal–hal yang detail pun bisa menjadi masalah. Misalnya gagasan yang besar dan rumit sekalipun harus coba disampaikan dengan bahasa yang sangat sederhana. Ingat konstituen IPM yang utama adalah mereka yang masih ada di sekolah menengah baik di SMP dan SMA sederajat. Sehingga penyajian gagasan harus dilakukan untuk bisa ditangkap oleh kelompok usia dalam rentang itu. Gerakan pelajar kreatif yang diketengahkan sekarang sejatinya adalah upaya untuk melakukan penyederhanaan dan kontekstualisasi gerakan pelajar kritis sesuai dengan kreatifitas pelajar yang menjadi basis utama gerakan IPM. Gagasan besar yang disampaikan dengan bahasa sederhana dan dalam bentuk yang kreatif sesuai dengan kondisi psikologis dan karakter basis gerakan IPM itu sendiri.

Hal ini juga harus didukung dengan penegasan dan penyesuaian pimpinan dengan basis gerakan. Dalam beberapa forum dengan organisasi pelajar lain baik di dalam maupun luar negeri, kita selalu dapat membanggakan ketika organisasi ini memiliki jaringan yang begitu luas, anggota yang banyak pencapaian lainnya. Namun terkadang agak sulit untuk menjelaskan ketika organisasi pelajar yang pimpinannya rata-rata mahasiswa dari sejak tingkat kabupaten/kotamadya. Alam pikiran, kematangan psikologis dan wawasan mahasiswa tentu berbeda dengan pelajar sekolah menengah. Hal ini tentu akan menimbulkan gapyang cukup luas antara pimpinan dengan anggota. Selama ini pengemasan dan perumusan ide gerakan selalu menemui kendala karena kesulitan implementasi di lapangan. Apakah konsep terlalu rumit atau terlalu berat, yang akhirnya sulit untuk di mengerti di tingkat grass rootdan menjadi tidak applicable. Salah satu ide yang muncul pada perumusan materi muktamar tahun 2010 tentang pembatasan usia pimpinan di tingkat PD untuk hanya seusia SMA saya pikir adalah ide yang cukup penting dalam konteks ini.

Kedua, melakukan penyederhanaan organisasi. Dengan waktu efektif yang hanya satu tahun lebih beberapa bulan (15 bulan) maka akan sangat berat untuk melaksanakan seluruh kegiatan bidang dalam waktu yang sempit. Disisi lain ini akan berpengaruh terhadap konsentrasi organisasi, karena banyak agenda namun waktu yang sempit, dan akhirnya pimpinan hanya akan terpaku untuk berpikir masalah-masalah teknis. Misalnya pendanaan kegiatan dan hal teknis yang lain. Ini mungkin terkesan sangat teknis sekali namun, dalam jangka panjang akan sangat berpengaruh. Devil is in detail, terkadang hal-hal kecil yang terlalu menyita waktu akan mengganggu pencapaian hal besar yang strategis. Karena itu perampingan organisasi akan sangat penting dilakukan. Fungsi-fungsi teknis yang lebih fokus ke issubisa diserahkan kepada lembaga-lembaga pembantu pimpinan yang bisa berkreasi untuk menggawangi satu issu khusus.

Pola yang pernah diterapkan pada masa M. Izzul Muslimin dengan mengembangkan beberapa lembaga seperti LaPSI, ALIFAH dan lembaga lainnya perlu dipertimbangkan ulang. Memang keberadaan lembaga tidak pernah benar-benar vakum dari IPM misalnya Kuntum selalu eksis dari sejak berdiri hingga sekarang, namun lembaga lain datang dan pergi, muncul dan tenggelam. Terkadang keberadaannya membantu terkadang juga membebani namun keberadaan lembaga semestinya lebih diprioritaskan sebagai strategi implementasi dari arah gerakan yang ingin dicapai. Dengan begitu maka pimpinan bisa fokus terhadap konsolidasi organisasi dan hal-hal lain yang lebih umum dan strategis.

Ketiga, melakukan inovasi dan kreasi dengan memaksimalkan multi media. Keberadaan website IPM selama ini terkadang tidak menjadi prioritas. Padahal dalam era sekarang keberadaan media interaktif yang bisa menjangkau sebanyak-banyaknya konstituen dan memiliki ruang lingkup yang sangat luas adalah maha penting. Terlebih lagi, generasi yang diampu oleh IPM saat ini adalah generasi Y. Generasi dimana penggunaan teknologi begitu dominan, IT savvy, dan ruang-ruang begitu sempit karena telah dipampatkan oleh internet dan website. Maka pemanfaatan teknologi ini pelu menjadi bagian dari strategi untuk menggerakkan dan menyampaikan gagasan-gagasan dari organisasi. Internet menjadi media informasi dan komunikasi yang penting.

Keempat, sinkronisasi dan merevitalisasi hubungan dengan stakeholderIPM yang lain selain anggota, dalam hal ini Dikdasmen, sekolah dan Muhammadiyah. Muhammadiyah telah memiliki visi Muhammadiyah 2025 yang akan menjadi grandstrategy Muhammadiyah selama seperempat abad yang akan datang. Visi ini menjadi bingkai gerakan persyarikatan secara keseluruhan dan menjadi petunjuk arah, kompas gerakan ini di masa yang akan datang. IPM sebagai salah satu bagian dari sistem ini semestinya melakukan sinkronisasi dan kontekstualisasi peran dan gerakannya dalam bingkai visi Muhammadiyah 2025. Peran IPM dalam sistem persyarikatan Muhammadiyah tentu sangat penting dan karenanya harus mendapatkan perhatian dan dukungan yang signifikasn untuk mencapai visi tersebut. Muktamar satu ke yang lain tidak berdiri sendiri, namun merupakan satu kesatuan gagasan dan proses perjalanan organisasi menuju cita-citanya.

50 tahun adalah usia emas dan perjalanan sebuah organisasi adalah laksana sebuah kurva, dari kurva lembah menuju puncak. Mungkin di usia 50 IPM sudah pernah menyentuh kurva tertingginya, dan bisa jadi sekarang sedang menurun dan melandai menuju kurva yang mengarah ke bawah. Maka rethink, revitalize adalah sebuah siklus perjalanan sebuah gerakan agar tertap eksis, kontekstual dan mampu menjawab tantangan zaman.

Semoga Ikatan ini tidak pernah puas dengan pencapaiannya, sehingga selalu berpikir, berkreasi, berinovasi dan tetap kritis, progresif dan transformatif. Wallahu a’lam.



*) Penulis adalah Deni Wahyudi Kurniawan, lahir di Garut, 3 Desember 1983. Pertama kali aktif di PR IRM Darul Arqam, tahun 1997-1999. Terpilih sebagai Ketua Umum PP IPM 2008 – 2010. Saat ini bekerja sebagai Program Development Officer untuk Indonesia Institute for Social Deveopment (IISD) terutama untuk program pengendalian tembakau.

Artikel keren lainnya:

IPM, OKP Terbaik Nasional

Pemberian penghargaan OKP Berprestasi 2015 kepada PW IPM se-Indonesia
Jakarta-Selama periode 2014-2016, Pimpinan Pusat IPM tiga kali mengikuti pemilihan OKP Berprestasi dari Kemenpora; Tahun 2015 IPM mendapat Peringkat I dalam ajang Penghargaan Pemuda Indonesia dengan program Sociopreneurship melalui metode seleksi - pemilihan menggunakan people voice dan Peringkat I dalam ajang Pemilihan OKP Berprestasi Piala Soegondo Djojopuspito dengan program Book On The Street.

Penghargaan Organisasi Kepemudaan (OKP) Berprestasi Nasional 2016 kembali diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga RI (Kemenpora RI). 10 OKP masuk dalam babak final penilaian Penghargaan OKP Terbaik Nasional, dengan IPM menjadi salah satu diantaranya. Pengumuman pemenang OKP Terbaik Nasional dilaksanakan pada Senin (25/10) di Gedung Kemenpora RI.

Tahun ini dengan segala perjuangan dan persiapan yang matang, PP IPM mengajukan program Indonesian Youthpreneur Movement (IYM) yang menjadi penyokong gerakan literasi, pendidikan, konservasi ekologi, kebencanaan dan dakwah, IYM sudah dilaksanakan lebih dari dua tahun oleh IPM. Tetapi juri menetapkan PP IPM sebagai juara ke 3 dalam pemilihan setelah melakukan seleksi administrasi, verifikasi faktual dan presentasi. Sedangkan pada posisi pertama ditetapkan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) dengan program Rumah Ramah Pelajar dan Perempuan dan Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dengan program Rakernas dan Papua Mengajar pada posisi kedua.

Hasil penilaian diumumkan oleh dewan juri yang terdiri dari Maria Yohana Esti Wijayanti (Ketua, Komisi X DPR RI F-PDIP), Sanusi (Sekretaris, Kemenpora RI), Rachmat HS (Anggota, Ketua Pemuda Betawi), Yaqut Cholil Qoumas (Anggota, Ketua Umum GP Ansor), dan Indra Jaya Piliang (Anggota, Pengamat Politik - Partai Golkar). Pada hasil penilaian yang diumumkan, IPPNU meraih nilai 285, PMKRI meraih nilai 280, dan IPM meraih nilai 277. Posisi Juara Harapan I dan II masing-masing diisi oleh Kopri PMII dengan nilai 270 dan CIMSA dengan nilai 266.

Usai pengumuman OKP Berprestasi Nasional, Ketua Umum PP IPM, M. Khoirul Huda menanggapi hasil penilaian. Huda menyampaikan, "Tidak seperti dua penghargaan sebelumnya, untuk tahun 2016 kami tidak mengetahui kriteria apa saja yang menjadi standar penilaian dan berapa skor untuk masing-masing kriteria penilaian, karena memang tidak diumumkan secara rinci dan transparan kepada peserta penghargaan. Cenderung kontradiktif dengan tahun lalu yang sangat terbuka." 

Huda menambahkan, "Pendaftaran kali ini yang sejatinya ditutup tanggal 15, diperpanjang hingga tanggal 20 dengan alasan pendaftar yang membludak. Belakangan alasan tersebut kontradiktif dengan pernyataan juri saat pembukaan yang menyatakan jumlah pendaftar sedikit. Selain itu juga ada OKP yang ketuanya melampaui usia 30 tahun (tidak sesuai dengan syarat usia OKP) tetapi tetap masuk 10 besar. Kami sangat kagum dengan presentasinya KOPRI PMII dan CIMSA yang sangat apik menyajikan data program yang sudah mereka laksanakan. Tentunya, selamat kepada para pemenang dan terimakasih kepada segenap pihak dalam penghargaan ini."

Berikut bahan presentasi PP IPM dalam Penghargaan OKP Berprestasi Nasional 2016;


 

Bagaimanapun, IPM dengan gerakan yang menyentuh basis masa se-Indonesia dan didukung dengan kondisi administrasi yang mumpuni telah menyajikan semua data dengan valid dan akuntabel. Terimakasih kepada kader IPM dan alumni yang memberi dukungan tiada henti. Ayo terus belajar, beramal, dan berkarya. Jayalah IPM! (nab)

Artikel keren lainnya:

Praksisme Kritis IPM

Apakah yang Anda rasakan di masa transisi Indonesia saat ini?
Tidak jelas! Hampir semua kalangan, apalagi rakyat biasa, merasakan dan menilai bahwa era reformasi ini memberikan tanda tanya akan masa depan. Bagaimana tidak, situasi politik, ekonomi dan budaya di negara kita ini hampir semuanya tak pasti. Tak pasti kapan mahasiswa yang sarjana keluar dari status pengangguran terdidik, pengangguran bisa dapat kerja, TKI dapat perlindungan hukum di negeri orang, koruptor kelas kakap bisa ditangkap, biaya sekolah yang terjangkau, budaya lokal mendapat ruang yang lebih luas untuk berkembang dan lain sebagainya. Masa transisi ini membawa masyarakat kita seolah mengalami disorientasi masa depan. Setiap keinginan seolah-olah  mengalami penurunan misi dari ‘mengubah dunia’ (changing the world) menjadi sekedar ‘mengubah kata-kata’ (changing the word). Karena itulah O’Donnel dan Schmitter (1986) menamai masa ini sebagai fase “transisi dari otoritarianisme entah menuju kemana”.
Budaya “nunggu dari pusat” agaknya masih menyelimuti sebagian besar masyarakat kita yang mengharapkan adanya perubahan berangkat dari “atas” dan bukan dimulai dari kemandirian masyarakat sendiri. Kesadaran naif masyarakat yang menerima situasi ini sebagai sesuatu yang given merupakan produk dari kekuasaan yang anti rakyat dan anti demokrasi pada masa yang lalu.
Mencermati situasi di atas, “kesadaran kritis” kemudian muncul menjadi ikon gerakan IPM dengan asumsi bahwa masyarakat (khususnya pelajar Indonesia) harus dibangunkan dari ketakberdayaan, ketundukan atas kekuasaan negara yang dominan dengan bersama-sama mengepalkan tinju optimisme seraya menegaskan bahwa perubahan tidak akan lahir dari penguasa yang korup dan mengabaikan dimensi pendidikan, ekonomi dan budaya bangsa, karenanya dari warga atau masyarakatlah perubahan akan lahir dengan melakukan kontrol, balancing bahkan oposisi terhadap penguasa demi terwujudnya kesejahteraan, keadilan dan kesakinahan bangsa secara merata.

Lingkar Fikir-Refleksi-Aksi
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah mekanisme kesadaran kritis ini bekerja? Untuk melakukan investasi sosial, politik dan kebudayaan maka agenda awal IPM adalah mentransformasikan kehidupan keilmuan dalam dinamika kehidupan remaja. Artinya, sebuah gerakan harus dimulai dari kematangan-kematangan konsepsional untuk menjadi modal dalam melakukan gerakan sosial, politik dan kultural. Tanpa berlandaskan pada kematangan konsepsional, maka gerakan sosial, politik maupun kultural akan kehilangan arah. Sebaliknya kematangan konsepsional tanpa ditransformasikan kedalam berbagai bentuk gerakan sosial, politik dan kultural akan kehilangan maknanya.
Kematangan konsepsional sebagai hasil pergulatan intensif dengan ide-ide besar memungkinkan IPM membaca realitas secara jernih dan utuh. Realitas tidak boleh ditangkap secara apa adanya. Karena akan membuat kita tidak bisa menangkap makna intrinsik dalam realitas tersebut (beyond the reality).
Realitas harus dibongkar dan ditafsirkan kembali melalui perspektif ide-ide besar yang digeluti, misalnya perspektif open society-nya karl popper, Communicative society-nya Habermas, al-Istighrab-nya Hassan Hanafi, dekonstruksi syariah-nya Abdullah Ahmad Al-Naim maupun cultural studies yang marak lagi di era 2000an ini. Pembongkaran realitas tentu mensyaratkan perangkat metodologi yang memadai dan karena itu menjadi kewajiban IPM untuk membekali warga ikatan dengan perangkat metodologi dan analisis sosial yang tepat.
Akan tetapi hal di atas bukan berarti IPM hanya bergulat dalam dunia pemikiran karena itu akan membuatnya menjadi “tukang onani intelektual”. Ia juga tidak boleh hanya bicara karena akan menjebaknya kedalam verbalisme. IPM pun juga tidak boleh hanya bertindak dan aksi-aksi saja karena itu akan menghantarnya ke jurang aktivisme. “IPM harus mensinergikan kekuatan berfikir, berbicara, dan bertindak secara sekaligus”. Dalam literatur ilmu sosial hal ini sering disebut sebagai praksis, suatu lingkar fikir-refleksi-aksi yang merupakan bentuk kesadaran kritis dalam melihat relaitas sosial yang dihadapi dan disertai dengan kehendak melakukan perubahan atas realitas sosial itu sendiri.


Citra Diri dan Kualifikasi Kader IPM
Bila praksisme kritis IPM tersebut dihubungkan dengan perkaderan, maka akan melahirkan citra diri kader yaitu “Banyak berfikir, banyak bicara dan banyak bekerja”. Mungkin pencitraan ini akan berbeda dengan semboyan yang sering dipakai pendahulu maupun aktivis Muhammadiyah selama ini dengan jargonnya “Sedikit bicara banyak bekerja”. IPM melihat bahwa era keterbukaan, kemajemukan serta arus informasi dan kebudayaan yang menderas saat ini dalam masyarakat mengharuskan IPM mengandalkan kerja yang terlahir dari refleksi yang mendalam dan futuring perspective begitupun “Bah pergumulan pemikiran” yang terjadi  harus dihadapi dengan dialog (control, counter dan sharing wacana) sekaligus sebagai pijakan awal pendidikan bagi masyarakat agar melek, tidak berpikir pendek sebagaimana pesan-pesan Allah SWT, yang banyak dijumpai dalam al-Qur’an: Afalaa tatafakkarun, afalaa tatadabbarun, fa’tabiru ya ulil albab!. “Kebudayaan bisu” tidaklah akan membuat masyarakat menjadi terdidik dan tahu untuk kemudian paham akan apa yang sedang terjadi. Wacana dan publikasi terhadap apa yang dilakukan IPM bukan pula harus diartikan dengan riya’ tapi justru harus dipandang sebagai syi’ar dakwah dan persemaian “virus” nilai-nilai kebaikan (bukankah kemungkaran juga mengepung kita di semua lini dengan publikasi serta penampakan yang besar dan gencar pula?)

Pada level operasional kader IPM juga bisa didorong agar memiliki kualifikasi: unggul, konsisten dan peduli. Aktivis IPM diharapkan memunculkan kader yang memiliki keunggulan komparatif (akhlak dan ilmu), apalagi sebagai organisasi yang berbasis pelajar dan remaja diharapkan mampu menjadikan steakholder-nya sebagai insan pelajar yang pandai, cakap, terampil sekaligus berakhlak mulia. Disamping itu dalam pergaulan sosialnya juga konsisten dalam pengertian mampu memegang dan melaksanakan amanah serta jujur. Tetapi kedua kualifikasi di atas tidaklah membuat kader IPM eksklusif dan individualistik tapi justru malah membuatnya memiliki social care yang tinggi terhadap sesama.

Dengan keunggulan komparatif menjadikan kader IPM siap pakai atau dibutuhkan kapan dan dimana saja. Begitupun sikap konsisten dalam wujud satunya kata dan perbuatan menjadikannya dapat  dipercaya oleh siapapun. Dan kepekaan yang tinggi terhadap situasi sosial masyarakat sekitarnya menjadikan kader IPM dicintai siapa saja.

Strategi Gerakan dan Implikasi Strategis
Strategi gerakan kritis IPM merambah dan ditransformasikan kedalam empat wilayah gerakan. Pertama, strategi gerakan keilmuan. Gerakan ini mendapat prioritas utama di IPM mengingat basis massa IPM sendiri terdiri dari komunitas pelajar dan remaja. Dengan demikian dinamika yang terjadi dikalangan IPM semestinya tak lepas dari pergumulan pemikiran dan pengetahuan. Diskursus ke-Islaman belumlah dianggap telah selesai, tapi akan senantiasa berdialektika dengan zamannya sesuai dengan semangat Al-Qur’an itu sendiri yang visioner. Begitupun pemaknaan terhadap Al-Qur’an tetap selalu memperhatikan teks, konteks, dan kontekstualisasinya. Cara berfikir kader IPM sekarang ini lebih bersifat substansial-transformatif, ketimbang simbolik dan formal.

Kedua, strategi gerakan sosial. Keterlibatan IPM dalam setiap problematika masyarakat, khususnya pelajar, melalui gerakan sosial berdimensi liberasi dan transformasi, berarti meneguhkan eksistensi IPM bagi perjuangan humanisasi masyarakat. Dalam konteks ini massifikasi advokasi yang selama ini dilakukan IPM termasuk dalam great scenario social IPM, adalah tidak mungkin bagi IPM hanya berkutat di bangku sekolah dan dibalik buku saja dalam upaya menegakkan dakwah amar ma’ruf nahi munkar tanpa terjun langsung mendampingi dan melihat realitas masyarakatnya secara  langsung. Ruh dan ghirah Islam yang dimiliki kader IPM saat ini sudah beranjak dari sekadar zikir dalam shalat menuju zikir dalam semua lini kehidupan. Dalam pengertian mentauhidkan (tidak melepaskan ‘nafas Allah’) dalam prilaku keseharian kita (secara sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya). Maka kampanye anti kekerasan, keadilan jender, advokasi pendidikan dan sebagainya merupakan upaya peran aktif IPM dalam mengharmonikan kehidupan sosial masyarakat dengan prinsip keadilan, keterbukaan dan kesejatian.

Ketiga, strategi kebudayaan. IPM mendeklarasikan dirinya sebagai peretas “kebudayaan baru” masyarakat, untuk menyingkirkan budaya monolitik produk orde baru yang dipaksakan agar mengakar dalam pola sikap dan hidup masyarakat. Pada saat yang sama IPM membongkar kesadaran na’if masyarakat yang tercermin dalam pola berfikir, bersikap dan bertindak yang monolitik, pasif, penuh was-was dan anti (alergi) perubahan. Oleh karena itu, gerakan kebudayaan IPM terkonsentrasikan pada upaya pembudayaan diri dan masyarakat. IPM mencoba mengangkat tema-tema “penaklukan cultural” (cultural imposition) oleh rezim penguasa otoriter dan kekuatan global atas kebebasan dan hak politik masyarakat melalui kekuatan struktur dan birokrasi serta kekuatan modal yang mereka miliki. Dalam level yang lebih besar semestinya IPM dan semua elemen masyarakat melakukan perlawanan terhadap globalisasi yang kian menghegemoni kebudayaan masyarakat kita dengan pragmatisme, hedonisme dan materialismenya serta privatisasi lahan kehidupan  masyarakat yang semestiya dinikmati secara gratis. 

Keempat, strategi gerakan politik. IPM terlibat secara intens dalam usaha mewujudkan praktik dan budaya politik yang beradab, moralis, demokratis dengan keterlibatan tinggi dari seluruh rakyat serta menyediakan dirinya dalam upaya pendidikan politik bagi rakyat khususnya para pelajar.

            Wujud dari “gerpol” IPM tampak jelas dalam berbagai gerakan jalanannya, baik melalui aksi massa, advokasi maupun bentuk-bentuk civil disobedience lainnya. Tujuan yang terpenting dari gerpol ini adalah memampukan IPM mempengaruhi policy maker, agar selalu berpihak pada rakyat (pelajar). Oleh karena itu, efektifitas gerakan politik IPM tidak diukur dari sejauh mana keuntungan politis yang IPM dapatkan, melainkan apakah gerakan itu mampu mendorong terciptanya sebuah sistem politik dan pemerintahan demokartis yang dicirikan dengan adanya supremacy of law, menjunjung tinggi nilai-nilai universal, civilian supremacy, dan konstitusionalisme.

Implikasi strategis dari titik berangkat tersebut di atas adalah bahwa IPM harus mentransformasikan kematangan konsepsional-kritisnya kedalam empat wilayah gerakan. Pertama, gerakan keilmuan dimana IPM memelopori atau setidaknya mengusung pemikiran-pemikiran yang memungkinkan masyarakat terberdayakan, membangun relasi Islam dan kehidupan sosial yang lebih dinamis serta kemampuan menterjemahkan visi-visi keilmuan Islam yang lebih transformatif. Kedua, gerakan sosial dimana IPM memanifestasikan diriinya sebagai komunitas kritis yang merupakan bagian integral dari masyarakat, dan karenanya harus terlibat dalam problem-problem dasar yang dihadapi masyarakat (intelektual organik). IPM harus menjadikan komunitas-komunitas rakyat remaja sebagai tempat bekerja dan belajar sekaligus. Ini penting agar IPM tidak menjadi kelompok ekslusif yang asing dari konteks sosio kultural masyarakat, meminjam bahasa Paulo Freire, IPM bukan saja harus ada dalam masyarakat pelajar, tetapi lebih dari itu harus ada bersama dengan masyarakat pelajar. Ketiga, gerakan kultural dimana IPM harus tampil sebagai buldozer yang meretas "kebudayaan bisu" masyarakat, yang nota bene adalah produk kekuasaan orde baru yang monolitik. Dengan kata lain gerakan kultural IPM terarah pada upaya pembudayaan diri pelajar dan masyarakat menjadi manusia yang otonom, bebas, kreatif dan dapat mengaktualisasikan diri sebagaimana mestinya. Keempat, gerakan politik dimana IPM mampu mengolah gerakan kultural dan sosialnya untuk bermain pada level politik strategis, dan bukan politik praktis. Politik strategis bermakna kecerdasan dan kecakapan mencipta serta "memainkan" momentum sejarah secara tepat.

Ikhtitam 
Banyak kekhawatiran jargon “kesadaran kritis“ IPM ini hanya akan menjadi sebuah mitos yang selalu dibanggakan tanpa melihat realitas akar rumput IPM yang (katanya) menganggap tema besar IPM pasca Muktamar XIII (tahun 2002 di Yogyakarta)  terlalu mewah bahkan kadangkala absurd. Setidaknya saya hanya menegaskan dua hal terhadap pernyataan tersebut. Pertama, iklim orde baru yang lalu telah membuat kebebasan berpendapat masyarakat terbelenggu bahkan terpenjara. Apapun yang muncul sebagai pemaknaan terhadap realitas yang berbeda dengan penguasa pasti akan dibredel, disingkirkan dan dianggap ekstrim kiri serta berbagai kesan negatif lainnya. Begitupun dalam dunia pendidikan (kala itu, bahkan mungkin sekarang masih) pelajar hanya diposisikan untuk patuh dan tunduk pada pendapat guru. Duduk, mencatat dan mendengarkan guru. Ada yang membantah dianggap kurang ajar. Tapi seiring dengan era reformasi, keran keterbukaan dibuka luas. Orang bisa bebas berpendapat, berorganisasi dan beraktivitas. Dalam posisi ini pulalah tema “kesadaran kritis” yang dipilih IPM merupakan respon dari kebangkitan civil society yang menyemaikan nilai-nilai demokrasi, keterbukaan dan keseimbangan (keadilan). Semua pihak diposisikan sebagai subyek bukan bemper. Begitupun pelajar, tidak boleh hanya diposisikan sebagai objek. Masa depan mereka adalah visi mereka sendiri tanpa harus dikungkung oleh keterbatasan ruang dan waktu. Segala kebijakan yang merugikan pelajar (hak pendidikan yang dirampas dengan biaya mahal, misalnya) harus dilawan!. Maka bila pelajar masih disetting sebagai kaum yang diam, nrimo ing pandum, tak memiliki hak protes maka itu sama saja kita menganggap mereka sebagai ‘manusia yang mati’ karena tak memiliki otonomi. Karena itupula pelajar yang bisu dan membiarkan haknya sebagai manusia dirampas (pendidikan, politik, ekonomi, budaya) harus dibangunkan melalui advokasi (hingga muncullah sebuah identitas bahwa bukan pelajar Muhammadiyah atau pelajar Islam atau pelajar Indonesia bila tidak kritis!). 

Kedua, Kesadaran kritis yang menjadi jargon IPM merupakan sebuah paradigma yang terbuka. Artinya, dimungkinkan untuk ditinjau ulang, dikritisi bahkan diganti bila tak relevan dengan semangat zaman yang senantiasa berubah. Karena itu “kesadaran kritis“ tidaklah akan dijadikan berhala idealisme tanpa jejakan di bumi realitas, sebab IPM tidak akan pernah bersahabat dengan status quo yang mengabaikan perubahan yang diperlukan manusia untuk meningkatkan, melengkapi dan memperindah harkat hidup manusia. Tetapi selama suara pelajar dan remaja masih bisu dan dibisukan, terabai dan diabaikan begitupun hak mereka untuk mendapatkan hak politik, pendidikan dan kesejahteraan ekonomi yang layak belum diperhatikan, maka kampanye dan massifikasikan kesadaran kritis akan tetap senantiasa digelegarkan agar semua mata, telinga, hati dan fikiran penguasa, orang tua, guru, dan semua elemen bangsa terhentak dan menggandeng pelajar dalam proyek perubahan kehidupan bangsa yang lebih demokratis dan bermartabat. Wallahu a’lam bissawaab.

 *) Penulis adalah Munawwar Khalil, lahir di Sengkang, 6 Juni 1979. Saat ini menjabat sebagai Kepala Penjaminan Mutu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, serta Dosen Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menjadi Ketua Umum PP IRM periode 2002-2004 dan Sekretaris MPK PP Muhammadiyah periode 2010-2015.

Artikel keren lainnya:

Mulai dari Buku Pintar hingga Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck




Pembicaraan pada pagi menjelang
siang itu diawali oleh
sebuah pertanyaan unik.

“Masih ingat ngak sama Buku Pintar?” tanya Huda di ruang rapat lantai empat, dengan samar-samar terdengar suara para tukang memecah keramik karena kantor PP Muhammadiyah sedang dalam proses renovasi.
Pikiranku langsung tertuju pada buku setebal ratusan halaman, berisi deskripsi dunia, peta-peta, bendera-bendera, profil provinsi-provinsi dan hal lainnya yang membuat buku ini disebut ‘pintar’. “Maksudmu buku Pintar karangan Iwan Gayo?”.
Huda mengambil smartphone, membuka laman, dan menulis ‘buku pintar Iwan Gayo’. Hasil pencariannya memperlihat wujud cover buku. “Ini dia” seru Huda menunjukkan gambarnya. “Aku dulu koleksi Buku Pintar ini lengkap, mulai dari edisi pertama sampe revisian-revisiannya” katanya tertawa. “Ibu dan bapakku pasti beliin, karena pengen anak-anaknya rajin membaca”.
Iwan Gayo, penulis Buku Pintar, lahir di Takengon, Aceh, 7 November 1951. Penulis ini punya makna sendiri bagi para pembaca di kota-kota menengah Indonesia era 80-90an. “Toko buku di Lampung itu jarang, dulu ada satu toko buku tapi sekarang sudah jadi Hotel di Metro. Kalau tempat jual buku aja susah ditemukan, bagaimana mau cari bacaan yang bagus?. Buku Pintar adalah salah-satu solusi anak-anak zaman itu membaca, termasuk di kampungku” Huda menjelaskannya sembari membuka-buka lagi gambar-gambar Buku Pintar. Aku membatin. Jangankan Metro, Yogyakarta yang dikenal sebagai “Kota Pelajar” memperlihatkan bahwa duka literasi bukan dongeng yang diulang-ulang budayawan. Toko buku, gerai buku, hingga penjual lapak buku di perempatan benteng Vredeburg tak mampu melawan modernisasi dan globalisasi kapital yang mewujud dalam tata kota. Mulai dari Cikapundung di Bandung, Pasar Senen di Jakarta, Palasari, atau area Shoping Center di Manado, senjakala mana yang tak akan menggerogotinya?.  
Selain Buku Pintar, Iwan Gayo juga menggarap penulisan Ensiklopedia Islam dengan riset selama 22 tahun, di tengah kondisinya yang harus beberapa kali naik meja operasi. “Ini Jihad saya..” kata Gayo saat diwawancarai seorang wartawan. Buku Pintar punya dua edisi, yakni Buku Pintar Edisi Senior dan Junior. Edisi Senior pertama kali diterbitkan pada tahun 1986, dan pada tahun 2013 sudah mengalami proses cetak hingga 45 kali. Buku Pintar termasuk dalam kategori ensiklopedia sekaligus kamus.
“Aku paling senang dengan bagian mengenai keajaiban dunia, lebih-lebih yang berkaitan dengan jawaban pertanyaan ‘tahukah kamu?’.
Para penulis ‘ensiklopedia’ punya riwayat kerja literasi yang panjang dalam sejarah manusia. Mulai dari riwayat klenik hingga fungsional, karena memang ada banyak anekdot menarik soal literasi. Seorang raja pernah diceritakan harus dihukum karena tak mau kisahnya dicatat, atau seorang raja yang hidupnya tersiksa karena karma tak membaca. Yang lebih ganjil lagi tentang seorang raja yang dihukum di neraka karena melanggar tradisi tulis-menulis. Islam bahkan punya kisah memukau tentang proses turunnya wahyu Tuhan melalui perintah “Iqra” yang berarti “Bacalah!”. Kalau paling kontemporer ya fiksi karya Carlos Maria Dominguez tentang Carlos Brauer dan Bluma Lennon yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa aneh, keputusan, dan nasib karena perkara satu eksemplar Poems karya Emily Dickinson. Pada zaman yang sangat lampau, para penulis adalah segolongan manusia yang kebal hukum. Para penulis, dan buku-buku harus terhindar dari dinamika politik supaya tak ada campur tangan kepentingan yang merusak riwayat ontologis yang dikandungnya.

***

Bukan cuma sejarah, buku sendiri bisa menjadi sangat berkesan bagi beberapa orang. Setelah pembicaraan mengenai Buku Pintar, Huda mulai menceritakan apa saja yang dibacanya dahulu. “Sebelum membaca komik, saya sudah membaca novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karangan Buya Hamka”. Ada beberapa nama sastrawan muslim yang dikenal hingga sekarang, Buya Hamka adalah salah-satu yang fenomenal. Dua tahun terakhir Buku-buku Buya Hamka ataupun buku-buku yang berkisah tentangnya dapat ditemui terus menerus. Beberapa karya dicetak dengan format cover baru.
Huda diam sambil mengingat-ingat apa sebabnya di usia belasan tahun sudah menggemari novel Buya Hamka. Tak lama kemudian dia berkata, “Aku baca Tenggelamnya Kapan Van der Wijck karena kakakku jurusan sastra. Jadi dia punya koleksi-koleksi novel. Buku-buku sastra itu menumpuk, dan membuat penasaran. Beberapa di antaranya aku baca sampai selesai.”   
Aku tahu pasti bagaimana Khoirul Huda, seorang aktivis IPM memaknai karya salah-satu pujangga besar Muhammadiyah itu. Buya Hamka sendiri telah menjadi inspirasi yang luas bagi anak muda Muhammadiyah era 80-90an. Kanon terbesarnya, Tafsir Al-Azhar telah menjadi karya penting yang memperlihatkan cara kerja jenius penulis melayu terhadap teks Arab. Hingga saat ini, kerja literasi orang melayu mempunyai sejarah tersendiri bagi sejarah literasi Indonesia. Buya Hamka lahir dalam konteks keberaksaraan cetak modern masyarakat Sumatera. Hamka yang lahir pada tahun 1908 di Maninjau, mengalami pengalaman literasi yang turun temurun dijaga masyarakat Sumatera. Pada usia empat tahun, Buya Hamka pindah bersama orangtuanya ke Padang. Di sana ia terbiasa menghapal pantun dan hidup dengan tradisi laki-laki Minangkabau yang diharuskan mampu membaca dan menulis Al-Qur’an. Orang Minang mengenal keberaksaraan cetak baru pada tahun 1827. Kendati demikian, tradisi literasinya sudah sangat tua. Tradisi Islam memberi corak bagi pembentukan minat terhadap keberaksaraan pernaskahan masyarakat Minang. Pada abad 19, keberaksaraan cetak turut memperkaya persentuhan masyarakat minang dari dengan aksara Latin.

Tradisi literasi telah membentuk kebudayaan beberapa masyarakat pra-Kolonial. Tak heran jika masyarakat jenis ini tumbuh lebih cepat dalam hal perniagaan dan industri. Sesuatu yang barangkali menjadi ironi pada sisi yang lainnya. Tetapi kehadiran para pekerja literasi memberi “terang” bagi dunia. “Masa lalu aku terselamatkan karena orang-orang ini (Iwan Gayo dan Buya Hamka), mereka menulis, dan kita orang-orang di kampung bisa membaca, jadi tahu apa yang dimiliki oleh kebudayaan kita sendiri” kata Huda sambil mengetuk meja, menimbulkan bunyi dan kesan empatik.

*) Penulis adalah Fauzan Anwar Sandiah, Mahasiswa Program Magister di UIN Sunan Kalijaga. Merupakan Anggota Bidang Pengkajian Ilmu Pengetahuan PP IPM Periode 2014 - 2016

Artikel keren lainnya:

IPM Young Entrepeneurs Award 2016

Assalamu'alaikum kader IPM di manapun
kamu berada!

Bidang Kewirausahaan jelang Muktamar ini
menyelenggarakan agenda besar bagi kader IPM yang juga wirausahawan muda. Untuk kader IPM yang memiliki usaha dan sudah berjalan minimal tiga bulan, sangat direkomendasikan untuk mendaftarkan usaha yang dimiliki guna berpartisipasi pada kompetisi IPM YOUNG ENTREPRENEURS AWARD 2016

Sebagai apresiasi dari PP IPM, peserta terbaik pada penghargaan ini akan mendapatkan Grand Prize Tiket Pulang-pergi Jakarta-Balikpapan untuk Muktamar XX IPM dan 3 besar mendapatkan Gratis Stand Muktamar!

Tunggu apa lagi, buruan daftarkan usaha kamu hingga 30 Oktober 2016 dan menangkan hadiahnya!

Daftarkan usahamu di link berikut:

Artikel keren lainnya:

IPM Gerakan Ideologis

Kelahiran dan perkembangan Ikatan Pelajar Muhammadiyah
(IPM) tidak lepas dari misi
Muhammadiyah dan konteks kehidupan yang mengitarinya. Pada tahun 1961
, Muhammadiyah hampir berusia setengah abad dan belum memiliki sayap gerakan yang secara khusus menggarap komunitas pelajar, selain mahasiswa. Memang sejak berdirinya Muhammadiyah telah memiliki lembaga pendidikan, yang secara langsung dan utama membina pelajar sebagai sumberdaya generasi umat dan bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia.

Melalui lembaga pendidikan Islam modern yang dipeloporinya, Kepeloporan Muhammadiyah dalam pembaruan pendidikan khususnya pendidikan Islam, selain melekat dengan ide tajdid atau pembaruan Islam yang berada dalam alam pikiran Kyai Dahlan sebagai mujadid Islam Indonesia, juga dalam pandangannya yang bersifat holistik atau integralistik. Pendidikan Muhammadiyah sejak awal merupakan pendidikan Islam terpadu yang memadukan pendidikan agama dan umum dalam berbagai ranahnya baik yang berdimensi ruhaniah atau spiritualitas, intelektualitas, maupun kemampuan-kemampuan keahlian dalam diri manusia. Dalam pandangan Dr. Kuntowijoyo (1985), pendidikan Muhammadiyah sebagaimana digagas Kyai Dahlan, mampu mengintegrasikan antara iman dan kemajuan, yang melahirkan generasi muslim terpelajar yang kuat iman dan kepribadiannya sekaligus mampu menghadapi tantangan zaman, bahkan para elite sosial kelas menengah yang kuat dan tersebar di berbagai struktur kehidupan nasional. Karena itu tanpa harus memberi embel-embel terpadu atau yang setara dengan itu, sejatinya dan semestinya seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah haruslah mencerminkan pendidikan Islam modern yang holistik atau integralistik.

Pendidikan merupakan salah satu usaha dari Muhammadiyah, yang berkaitan dengan ikhtiar (1) Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumberdaya manusia agar berkemampuan tinggi serta berakhlaq mulia; dan (2) Memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan  ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta meningkatkan penelitian (Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah tahun 2005).  Adapun tujuan Pendidikan Muhammadiyah ialah membangun sosok manusia yang utuh, yaitu: (1) berkembangnya potensi manusia yang berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, beriman, dan bertaqwa kepada Allah, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; (2) terwujudnya kemampuan penciptaan, pengembangan, dan penyebarluasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang terintegrasi dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; dan (3) terbinanya Keislaman dan Kemuhammadiyahan di lingkungan pendidikan Muhammadiyah (Qoidah Pendidikan Muhammadiyah). Dari usaha dan tujuan tersebut jelas sekali bahwa di satu pihak pendidikan dalam Muhammadiyah merupakan usaha strategis baik dalam mewujudkan cita-cita atau tujuan Muhammadiyah yakni mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagai format masyarakat yang utama atau unggul. Di pihak lain pendidikan Muhammadiyah merupakan jembatan emas menuju terwujudnya peradaban bangsa dan dunia kemanusiaan sebagai bagian dari misi risalah Islam untuk menjadi rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini.

Namun dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah tersebut maupun di lingkungan Muhammadiyah secara keseluruhan belum secara khusus terdapat pembinaan yang menyiapkan pelajar untuk menjadi kader yang mampu menyerap misi gerakan sekaligus menjadi anak panah organisasi. Dalam bahasa lain belum terdapat proses penyiapan anggota inti pelajar Muhammadiyah yang mengemban misi dan usaha Muhammadiyah. Dalam kaitan inilah maka dipandang penting lahirnya sebuah organisasi otonom yang menggarap secara khusus dunia pelajar yang disiapkan menjadi anggota inti penggerak Muhammadiyah, sehingga dari situlah kemudian digagas dan dilahirkan Ikatan Pelajar Muhammadiyah atau disingkat IPM. Misi Muhammadiyah yang spesifik itulah yang kemudian dapat dibaca dalam substansi tujuan IPM, yakni “Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil dalam rangka menegakkan, menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridloi Allah swt”.

Sebenarnya, secara tidak langsung dan bersifat embrional, kehendak Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi yang membina pelajar tersirat dari gagasan Kyai Dahlan dan Nyi Walidah Dahlan dalam “mengasramakan” para pelajar putra dan putri yang ingin mendalami Islam di bawah bimbingan kedua tokoh utama Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah itu. Demikian pula dengan kelahiran organisasi perhimpunan pelajar Muhammadiyah di beberapa daerah seperti di Malang tahun 1926, di Yogyakarta tahun  1954, bahkan Ikatan Pelajar Muhammadiyah di Wajo Sulawesi Selatan tahun 1950, yang kemudian dibubarkan oleh Muhammadiyah. Benih-benih spirit ingin mendirikan sebuah organisasi khusus yang membina pelajar Muhammadiyah sebenarnya telah tumbuh sejak awal.

Maka berdirinya IPM tahun 1961 sebenarnya merupakan keniscayaan sejarah yang tinggal menunggu waktu. Proses ini di internal Muhammadiyah sendiri melalui pergumulan yang panjang, yang dimulai dari prakarsa Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah dalam Konferensinya di Garut tahun 1958, yang kemudian dilanjutkan dalam Muktamarnya di Yogyakarta tahun 1960, yang membuahkan komitmen dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan akhirnya berdirilah atau dilahirkanlah Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Semangat dasarnya agar ada wadah khusus yang membina pelajar yang siap untuk menjadi pelopor, pelangsung, penyempurna perjuangan Muhammadiyah.
Terdapat konteks sejarah atau sosiologis yang juga khusus dan bersifat ideologis di sekitar kelahiran Muhammadiyah. Ketika kekuatan-kekuatan organisasi Islam yakni tokoh-tokoh Muhammadiyah, Partai Syarekat Islam Indonesi, Nahdlatul Ulama, dan lain-lain mendirikan partai politik Islam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) tahun 1945 di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1945, pada saat itu terkandung cita-cita ideologi politik Islam yang satu mewakili umat Islam. Setelah itu dan dalam spirit persatuan politik Islam itu dilahirkan Deklarasi Panca Cita yang mengandung semangat kesatuan umat Islam yang beromitmen bahwa ummat Islam bersatu dalam satu partai Islam Masyumi; bersatu dalam gerakan mahasiswa Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); bersatu dalam gerakan pemuda Islam yaitu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII); bersatu dalam gerakan pelajar Islam yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII); dan berssatu dalam Kepanduan Islam yakni Pandu Islam (PI). Namun konsensus politik tersebut tidak bertahan lama karena pada tahun 1948 PSII keluar dari Masyumi,  lantas disusul oleh NU pada tahun 1952 yang membentuk dirinya menjadi Partai Politik sendiri. Tinggal Muhammadiyah yang bertahan sebagai Anggota Istimewa Masyumi sampai partai Islam ini membubarkan diri pada tahun 1959 atas tekanan politik rezim Soekarno.

Pada saat itu sebagian kalangan umat Islam yang ingin mempertahankan konsensus Panca Cita berkeberatan dengan gagasan mendirikan IPM, termasuk di sementara elite pimpinan Muhammadiyah yang masih ingin mempertahankan eksistensi PII. Demikian pula sebagian kalangan Muhammadiyah yang merasa cukup dengan adanya Pemuda Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dan Nasyiatul ‘Aisyiyah. Tetapi generasi muda terutama para elite Pemuda Muhammadiyah yang merasa tidak terwakili oleh organisasi yang telah ada itu sekaligus memiliki kehendak untuk adanya organisasi khusus milik Muhammadiyah sendiri yang membina pelajar, maka dorongan yang kuat dan ditempa oleh keadaan yang tidak terelakkan, akhirnya tetap bertekad bulat dan kemudian lahirlah Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada 18 Juli tahun 1961.

Dari pergumulan sejarah yang penuh tarik-menarik itu sesungguhnya IPM lahir, sehingga gerakan organisasi otonom yang membina komunitas pelajar ini sesungguhnya sejak kelahirannya memiliki jiwa dan karakter yang bersifat ideologis, bukan sekadar organisasi pelajar biasa yang bersifat profesional atau teknis organisatoris. IPM lahir dalam dinamika ideologi yang sarat perjuangan, termasuk untuk meneguhkan kekuatan dan eksistensi Muhammaiyah agar memiliki organisasi pelajar milik sendiri dan tidak menggantungkan pada organisasi lain. Lebih-lebih setelah organisasi Islam yang lain keluar dari komitmen awal Msyumi dan Panca Cita, yang bergerak dalam ranah dan kepentingan sendiri. Dengan tetap menyadari dan berkomitmen untuk memelihara ukhuwah dengan seluruh kekuatan Islam lainnya, Muhammadiyah akhirnya berketetapan hati mendirikan Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

Kondisi bangsa Indonesia awal tahun 1960-an hingga tahun 1965 yang mengalami cengkeraman politik Demokrasi Terpimpin dan memasuki era Orde Baru rezim Soekarno yang semakin otoriter dan cenderung diktatorial, semakin memperkuat pentingnya kehadiran IPM, dan kemudian disusul oleh berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tahun 1964. Lebih-lebih setelah Soekarno yang didukung Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) membentuk aliansi Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis) dalam menghadang kekuatan-kekuatan bangsa yang semakin kritis dan tidak ingin Indonesia terperangkap pada sistem politik yang diktatorial dan mematikan demokrasi yang telah diraihnya sejak kemerdekaan tahun 1945. Kehadiran IPM, IMM, semakin memperkuat barisan dalam Muhammadiyah yang telah diperkuat oleh Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, dan Hizbul Wathan dalam membina generasi muda umat dan bangsa dari berbagai gerakan ideologi politik yang tidak sejalan dengan misi Muhammadiyah, kepentingan umat Islam, dan kepentingan nasional sebagaimana cita-cita awal kemerdekaan.

Orde Lama jatuh tahun 1965 dan lahir Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Soeharto dengan trauma Orde Lama memulai kebijakan deideologisasi dan depolitisasi dengan melakukan perubahan-perubahan yang sebenarnya terbilang otoriter pula, termasuk penyederhanaan partai politik tahun 1973 menjadi tiga yakni Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia yang dianggap mewakili basis massa utama masyarakat Indonesia. Dengan kebijakan politik yang monolitik semua kekuatan bangsa dikontrol sedemikian rupa, termasuk organisasi kemasyarakatan. Tahun 1985 diundangkan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, yang antara lain mengharuskan seluruh organisasi kemasyarakatan mencantumkan asas Pancasila dan tidak boleh berasas ideologi lain, termasuk Islam. Muhammadiyah akhirnya dalam Muktamar tahun 1985 di Surakarta menyesuaikan diri dengan UU tersebut.
Pada saat yang sama pemerintah Orde Baru juga ingin mengontrol kekuatan mahasiswa dan pelajar. Dalam hal pelajar seluruh sekolah harus bergabung dan berada dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), sebagai satu-satunya wadah pelajar atau siswa sekolah. Dengan kata lain IPM dan seluruh organisasi pelajar yang selama ini ada harus bergabung dalam OSIS, artinya tidak boleh berdiri di sekolah, termasuk di sekolah Muhammadiyah. Setelah memakan waktu sekitar sepuluh tahun pergumulan untuk mempertahankan diri, akhirnya tahun 1992 IPM menyerah dan mengubah diri menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Jika dilihat konteksnya, apapun perubahan itu merupakan paksaan rezim penguasa yang otoriter, yang sebenarnya berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena itu terdapat organisasi lain yang tidak mau mengubah diri, termasuk Pelajar Islam Indonesia (PII).

Seiring dengan reformasi tahun 1998, kemudian terjadi perubahan kembali. Segala kekangan politik yang dipaksakan Orde Baru dipulihkan dan lebih dahsyat lagi terjadi proses demokrasi yang luar biasa dan menjadi serba bebas. Di tengah perubahan iklim politik yang demokratis itulah kemudian Muhammadiyah kembali menetapkan asas Pancasila dalam Muktamar tahun 2000 di Jakarta, sebagai bentuk penyikapan atas kesewenang-wenangan. Demikian pula dengan IRM, melalui perdebatan dan tarik-menarik yang agak berliku, akhirnya kembali ke eksistensi semula menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Seperti yang dialami Muhammadiyah, bahwa hikmah di balik perubahan apapun memang selalu ada, tetapi bukan pikiran pragmatis seperti itu yang dipakai rujukan. Jangankan menerima kebijakan politik monolitik, dijajah oleh Belanda ratusan tahun pun jika dipakai logika hikmah tentu sedikit ada manfaatnya, tetapi mudharatnya jauh lebih besar dan memang tidak zamannya lagi berada dalam penjajahan ketika seluruh bangsa-bangsa di dunia memerdekakan diri.

Kadang muncul logika lain, ketika keluar dari jebakan politik monolitik rezim pemerintah, sebuah organisasi otonom berada dalam kekangan “rezim” organisasi induknya. Logika ini sebenarnya tidaklah tepat, karena sejak awal kedudukan organisasi otonom itu memang secara umum memiliki keleluasaan dalam mengatur rumah tangganya sendiri, tetapi dalam hal berkaitan dengan organisasi induknya selalu terdapat ikatan dan tatanan tertentu yang harus ditaati. Jika ingin leluasa sepenuhnya dan tidak terikat dengan kebijakan organisasi induknya, terbuka pilihan merdeka untuk menjadi organisasi independen yang berada di luar Persyarikatan.

Perkembangan dan keberadaan IPM sebagaimana organisasi otonom angkatan muda Muhammadyah memiliki spirit ideologis dengan gerakan Muhammadiyah, selain ikatan-ikatan organisatoris. Di dalamnya bahkan terkandung pembagian kerja yang memiliki perbedaan khusus satu sama lain. Pemuda Muhammadiyah bergerak dalam area kepemudaan dan kemasyarakatan, Nasyiatul ‘Aisyiyah membina kepemudian dan kemasyarakatan, IMM dalam kemahasiswaan, dan IPM dalam kepelajaran. Begitu pula organisasi otonom lainnya, termasuk Organisasi Otonom Khusus ‘Aisyiyah. Dalam konteks gerakan kekinian, lebih-lebih masa depan, isu-isu gerakan dituntut untuk semakin bergeser dari persoalan-persoalan organisatoris ke peran-peran transformasional. Dibolak-balik seperti apapun soal wilayah perbatasan dan pergerakan secara organisatoris, pada akhirnya akan bermuara pada tatanan struktural yang tidak akan ada habisnya, dan selalu menyisakan persoalan. Wilayah struktur memang berwatak kaku, membatasi, dan kadang mengatur. Padahal tidak ada tatanan organisasi yang canggih sekalipun bebas dari kelemahan.

Kini IPM dan pergerakan angkatan muda Muhammadiyah lainnya berada dalam tantangan perjuangan yang luar biasa kompleks. Di lingkungan sendiri berhadapan dengan masalah dan agenda Muhammadiyah yang tidak ringan, ketika gerakan Islam modernis terbesar ini memasuki abad kedua pasca Muktamar Satu Abad di Yogyakarta tahun 2010 yang lalu. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang demikian besar, tentu memiliki prestasi yang besar, sekaligus masalah dan tantangan yang juga besar. Karena itu seluruh komponen kekuatan Muhammadiyah, termasuk IPM, dihadapkan pada tanggungjawab yang sama besarnya dalam mengemban misi gerakan Muhammadiyah menuju abad kedua yang tentu harus mengukir kisah sukses pembaruan gelombang kedua. IPM dituntut untuk menjadi bagian dari gerakan pembaruan di dalam Muhammadiyah.

IPM di dalam dunianya sendiri, yakni dunia pelajar, dihadapkan pula pada masalah dan tantangan yang tidak ringan. Di satu pihak potensi anak-anak Indonesia sesungguhnya luar biasa, yang tidak akan kalah dari anak-anak bangsa di belahan dunia yang lainnya, yang memerlukan mobilisasi potensi seoptimal mungkin. Pelajar Indonesia harus tumbuh-kembang menjadi generasi anak bangsa yang cerdas, berkarakter mulia, dan berprestasi sebagaimana anak-anak di negara maju untuk menjadi pilar dari keunggulan bangsa. Di pihak lain dunia pelajar Indonesia sejalan dengan perubahan sosial yang menyertai masyarakat yang melahirkannya, tengah dihadapkan pada berbagai masalah yang tidak ringan seperti ancaman tawuran, narkoba, dan virus-virus lainnya yang dapat merusak potensi dan martabat dirinya selaku pewaris peradaban bangsa. Pada posisi demikian menantang itulah IPM berada dan dituntut perananannya untuk menjadi kekuatan pencerah.

Sementara dunia pendidikan di negeri ini juga tidak kalah berat dalam menghadapi persoalan. Pendidikan sebagai strategi kebudayaan di satu pihak dituntut untuk tetap berada dalam jalur utamanya membangun manusia yang berakal-budi utama. Tetapi pada saat yang sama dunia pendidikan juga dihadapkan pada persoalan-persoalan pragmatis yang tidak jarang menggeser orientasi utamanya, sehingga menjauh dari strategi kebudayaan dan lebih bergerak dalam komoditi yang serba pragmatis. Berbagai skandal di dunia pendidikan, termasuk kecurangan dalam ujian nasional, sedikit maupun banyak sebenarnya merupakan gangguan sekaligus virus yang dapat membelokkan arah dunia pendidikan dari tujuannya yang utama untuk menjadikan manusia yang manusiawi dan berakal-budi mulia. Dalam dunia pendidikan yang sarat tantangan IPM berada dan dituntut untuk menjalankan misinya sebagai gerakan pelajar yang memiliki tujuan yang senapas dengan tujuan lembaga pendidikan yakni melahirkan genarasi yang cerdas, berakhlaq mulia, dan berguna bagi lingkungan kehidupan.

Sebagai kekuatan ideologis gerakan Islam reformis, IPM bersama komponen Muhammadiyah yang lain tidak kalah pentingnya dituntut untuk menjalankan fungsi dakwah dan tajdid menuju peradaban utama sebagaimana visi Muhammadiyah pasca Muktamar Satu Abad. Visi Muhammadiyah lima tahun ke depan (2010-2015) yang harus diwujudkan dalam jangka menengah ialah: (1) Meningkat dan berkembangnya organisasi dan jaringan untuk menjadi gerakan Islam yang maju, profesional, dan modern; (2) Meningkat dan berkembangnya sistem gerakan dan amal usaha yang unggul dan mandiri bagi terciptanya kondisi dan faktor-faktor pendukung terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; dan (3) Meningkat dan berkembangnya peran strategis Muhammadiyah dalam kehidupan umat, bangsa, dan dinamika global. Sedangkan Visi ideal yang tak terbatas ialah terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana menjadi proyeksi dari tujuan IPM. Mewujudkan visi yang mulia itu tentu memerlukan kekuatan kader yang berkeyakinan kuat, berwawasan pemikiran luas, berkepribadian yang utama, dan bertindak unggul sehingga membuahkan kemajuan yang serba melampaui.
Dalam perkembangan kehidupan yang lebih luas, IPM sebagaimana Muhammadiyah dan seluruh komponen gerakannya, berhadapan dengan dunia modern dan pasca-modern abad ke-21 yang sarat tantangan dan masalah yang serba kompleks. Hidup dalam percaturan lokal, nasional, dan global yang sarat perubahan tidaklah mudah karena bukan sekadar menjalani, apalagi terbawa arus, tetapi tidak kalah pentingnya mewarnai layaknya etos ideologi gerakan pencerahan. IPM sebagaimana Muhammadiyah yang tengah memasuki abad kedua di tengah dinamika kehidupan modern dan pasca-modern yang kompleks dan sarat perubahan itu, tentu dituntut untuk mampu menjadi pengemban misi dakwah dan tajdid sehingga gerakan Islam ini mampu mewujudkan tatanan peradaban yang utama sebagaimana yang dicita-citakannya. Dengan misi Islam yang berkemajuan, seluruh kekuatan Muhammadiyah, termasuk IPM di dalamnya, harus menjadi pelaku gerakan pencerahan yang strategis itu, sehingga baik IPM maupun komponen Muhammadiyah lainnya benar-benar melakukan peran transformasi yang bersifat membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan peradaban umat manusia.

Sumber: Buku Manifestasi Gerakan Perlawanan Pelajar: Kado Emas Milad 50Tahun IPM Berkarya untuk Bangsa. (2011).


*) Penulis adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah 2015 - 2020, merupakan Alumni IPM dan pernah menjabat sebagai Ketua I PP IPM 1983-1986

Artikel keren lainnya: