BERANDA · MENU · ARTIKEL · KAJIAN IPTEK

Mas Adim Berbagi Cerita Soal Dinamika IPM tahun 1990an

Pasca diskusi LaPSI tanggal 26 Maret 2016 soal "Dinamika IPM tahun 1990an", Arief Budiman Ch atau yang akrab disapa Mas Adim, Sekretaris Umum PP IRM tahun 1993,  mengirim sebuah komentar. Berikut adalah catatan Mas Adim tentang IPM di tahun 1990an.

"Saya ingat betul peristiwa ini [penundaan pelaksanaan Muktamar IPM di Medan-red], belum lama dilantik jadi ketua PD IPM di kampung Kudus saat kelas 2 SMA, dapat undangan mengikuti Muktamar ke Medan. Gembira sekali, saya akan bepergian jauh ke Medan mengendarai bis. Sebuah prestasi bagi anak SMA di kampung untuk ukuran saat itu. Tapi mimpi itu tidak menjadi kenyataan, karena Muktamar Medan gagal berlangsung --terobati 3,5 tahun kemudian, ketika menjadi PP IPM.

Akhirnya, dilaksanakan Muktamar terbatas dgn nama Silaturrahmi Pimpinan, tanpa ijin kegiatan dari pemerintah yang berwenang, di Muallimin Yogyakarta, Januari 1990. Mas Jamaluddin Ahmad menjadi Ketua dan Mas Zainul Arifin menjadi Sekretaris.

Tahun pertama periode mas Jamal - Mas Iping inilah kesulitan karena soal eksistensi dihadapi, karena muktamar tidak berijin itu. Berbagai upaya dilakukan, terutama untuk menyelesaikan masalah internal, agar semua mau menerima perubahan nama. Titik terang mulai didapat. Tahun 1992 atau 1991 akhir (?), Konpiwil akan diselenggarakan. Untuk bisa Konpiwil resmi tidak sembunyi-sembunyi, PP IPM berencana audiensi kepada Menpora Akbar Tanjung. Saya (yang ditarik ke PP IPM, juli 1991 -setelah setahun jadi mahasiswa--, sebagai anggota Dzawil Qurba), ditemani Erik (R. Rahmat Herwannuri), aktivis PD IPM Kota Yogya berangkat ke Jakarta membawa surat minta audiensi ke Menpora.  

Atas bantuan Drs. H. Sutrisno Muhdam (Ketua Majelis Pendidikan) yang menelepon langsung Menteri Akbar Tanjung di hadapan kami. Beliau berdua berteman baik sebagai sesama Pimpinan DPP KNPI. Singkat cerita, PP IPM diterima Audiensi, Menpora bersedia menghadiri Konpiwil IPM, yang diselenggarakan di Gedung PWM DIY yang masih baru.

Namun, sesaat setelah Konpiwil, datang surat dari Depdagri, memberitahukan agar IPM melakukan daftar ulang organisasi. Daftar ulang/registrasi organisasi IPM bisa diterima jika dilakukan perubahan nama. Setelah melalui proses internal melibatkan pimpinan wilayah juga,  dideklarasikanlah perubahan nama menjadi IRM pada 1992 itu. Begitulah penggalan ceritanya. Muktamar 1993, di Yogyakarta di Gedung Graha Bhakti Wana Yasa timurnya Stadion Mandala Krida, terlaksana secara meriah dengan nama baru IRM. Athaillah A Latief menjadi Ketua. kini, dr. H. Athaillah A. Latief, SpOG. tinggal di Bireuen, Aceh, menjadi Ketua PDM di sana."

Artikel keren lainnya:

M. Izzul Muslimin, "Kekuatan IPM ada Pada Dialektika Pemikiran"

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) pada tahun 1990an menghadapi tiga dinamika penting. Pertama adalah proses “pemutusan generasi” yang terjadi sekitar tahun 1986 melalui Muktamar tersembunyi di Cirebon. Kedua adalah perubahan nomenklatur dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), yang sebenarnya pra Muktamar 1993 sudah berubah. Ketiga, perubahan pola kader IRM dari ekslusif ke inklusif. Demikian ungkap M. Izzul Muslimin, Ketua Umum PP IRM tahun 1996-1998, dalam diskusi LaPSI PP IPM 26 Maret 2016 bertema "IPM, Seni, dan Ideologi; Dinamika IPM tahun 1990an" di Gedung PP Muhammadiyah Jl. KHA. Dahlan 103. Diskusi ini juga dihadiri oleh mas Arief Budiman Ch, Sekretaris Umum PP IRM tahun 1993 dan mbak Lina, Ketua Bidang Irmawati yang pertama. 

“Proses ‘pemutusan generasi’ itu terjadi tepat sebelum Muktamar Muhammadiyah. Waktu itu bapak-bapak dari Muhammadiyah meminta usia maksimal pengurus adalah 25 tahun. Mas Irud (Dr. Khoirudin Bashori) yang saat itu menjabat jadi ketua IPM menyerahkan jabatannya ke mas Jamal (Jamaludin Ahmad).” Menurut Izzul Muslimin, pemutusan generasi itu maksudnya supaya proses peremajaan di IPM dilakukan sesegera mungkin. “Itu proses peremajaan di IPM”.

"Muktamar Cirebon terselenggara tahun 1986, Mas Khoiruddin Bashori menjadi Ketua, Bang Azwir Alimuddin (kini tinggal di Pekanbaru) menjadi Sekretaris. (Gus Pur, inisiator Trensains, yang waktu itu mahasiswa Fisika ITB dan PW IPM Jawa Barat menjadi ketua Panitia Muktamar. begitu GusPur sering bercerita)" jelas Arief Budiman Ch atau yang akrab disapa Mas Adim melalui sebuah komentar pasca diskusi.  

Soal perubahan nomenklatur IPM menjadi IRM, dijelaskan oleh Izzul Muslimin sebagai respon atas permintaan Menpora. “Istilah pelajar waktu itu hanya bisa digunakan oleh OSIS. IPM bersama IPNU sama-sama mengambil jalan politik untuk menerima tekanan itu. Hal ini berbeda dengan PII yang menolak menerima tekanan. PII akhirnya menjadi gerakan ‘bawah tanah." Sebenarnya di IPM pun sebagian besar menolak. Bahkan penolakan keras itu datang dari Pimpinan-Pimpinan Wilayah IPM dari berbagai provinsi. Bahkan ada yang membawa celurit untuk menunjukkan protesnya” ungkap Izzul Muslimin tertawa mengenang.  

"Tahun 1989 bulan Juli,  untuk mengakhiri periode kepemimpinan Khoiruddin Bashori-Azwir Alimuddin (periodenya 3 tahun), direncanakan Muktamar itu di Medan. Gagal dilaksanakan. Penyebabnya, ada tekanan  dari pemerintah (Departemen Dalam Negeri, tepatnya) untuk merubah nomenklatur "Pelajar" menjadi yang nomenklatur lain. kalau tidak mau berubah, tidak dapat ijin penyelenggaraan Muktamar" tambah mas Adim. (penjelasan lengkapnya silahkan klik ini). 

Hal ketiga yang disampaikan oleh Izzul Muslimin adalah soal perubahan sistem Perkaderan. “Semula perkaderan kita sangat ekslusif, menjadi sangat terbuka. Ada yang namanya perkaderan berjenjang seperti Taruna Melati, Pelatihan Instruktur, Pendidikan Khusus Irmawati (Diksusti). Terus ada pelatihan lainnya yang non-struktural, bebas, dulu punya kredit poin. Melalui pelatihan dan kegiatan-kegiatan itu bisa jadi kader inti atau kader pratama. Setelah itu baru muncul konsep tentang Taruna Melatih Utama (TMU). Orang yang ikut TMU dulu bisa dari hasil poin yang diperoleh masing-masing kader.”

Menurut Izzul Muslimin, IPM atau IRM punya dinamika zaman masing-masing. “Setiap zaman (IPM/IRM) ada dinamika dan logika. Tugas kita menjawab tantangan masa masing-masing. Tapi IPM tiap zaman harus punya dinamika pemikiran, sebab itu akan mempengaruhi kualitas gerak Muhammadiyah di masa depan. Dialektika pemikiran itu akan jadi kekuatan tidak hanya bagi IPM tapi juga bagi Muhammadiyah melihat abad kedua” pesan Izzul Muslimin menutup diskusi. (@FauAnwar)

Artikel keren lainnya:

Mencari Inspirasi Konservasi Alam dari Ekofenomenologi

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Amazon.com
Paling tidak terdapat dua kutub besar dalam membedah persoalan ekologi sejak abad pertengahan hingga hari ini. Dua kutub besar itu diwakili oleh pandangan Malthusian yang melihat bahwa persoalan relasional antara manusia dan alam terletak pada keterbatasan alam dalam memenuhi hasrat serta pertumbuhan populasi manusia. Pandangan Malthusian ini pada umumnya dikenal secara teoritis dengan “batas-batas alam” dalam menyediakan kebutuhan manusia (Foster, 2013). Kutub yang satu lagi dibahas dalam pertentangan antara sumber masalah ekologi yang berakar dari problem antroposentris, yang melihat kerusakan alam akibat dari manusia memperlakukan alam sebagai “sumberdaya” yang dapat dipergunakannya sehendak hasrat. Pandangan antroposentris memandang bahwa manusia merupakan pusat alam semesta; manusia yang menentukan proses perputaran zaman, sedangkan alam bagian dari rekayasa-rekayasa peradaban manusia, tak lebih dari itu.

Sejumlah kritik sudah dilakukan untuk memperlihatkan betapa kelirunya dua kutub pemikiran itu dalam memperlakukan alam sebagai sebuah entitas. Kritik yang paling keras muncul dari Marxisme Ekologi yang menunjukkan betapa naifnya dua pandangan itu. Menurut Marxisme Ekologi, terdapat semacam “konstruksisme radikal” yang menjadi pangkal soal mengapa alam dianggap sebagai produk perkembangan konstruksi manusia. Penyangkalan ontologis bahwa alam hadir sebagai realitas yang juga berdiri sendiri, dan tak selalu merupakan objek dari konstruksi kognitif manusia semata. Kritik Marxisme Ekologi terhadap dua kutub tersebut memang menarik, akan tetapi yang menjadi fokus tulisan ini berkaitan dengan cara mengurai disekuilibrium manusia dan alam melalui kacamata fenomenologi yang disebut dengan Ekofenomenologi. Bagaimana menggagalkan penjelasan antropentris yang selama ini menjadi dalih eksploitasi alam? Bagaimana juga merefleksikan bahwa alam sebenarnya tak pernah bermasalah dalam kapasitasnya, misalnya menyediakan persediaan pangan bagi manusia, sejauh tak ada asumsi ala Malthusian bahwa manusia di seluruh negara tengah menghadapi ancaman kekurangan pangan?.

Memahami Ekofenomenologi
Ekofenonemologi berasal dari gabungan dua istilah, ekologi dan fenomenologi. Istilah  ekologi, sebagaimana diketahui merujuk pada cabang pengetahuan yang membahas relasi antara segala jenis makhluk hidup dan lingkungannya. Meskipun demikian, istilah ini digunakan secara luas untuk menunjukkan proses memahami interaksi antara makhluk hidup dan lingkungan. Sedangkan fenomenologi merupakan sebuah metode filsafat untuk memahami realitas. Fenomenologi sebagai metodologi muncul dari konteks waktu abad 19 di mana cara memahami terhadap realitas diwarnai oleh dua pemahaman besar yakni Cartesian dan Positivistik. Edmund Husserl termasuk pengusung fenomenologi murni yang mengakui kekayaan ontologis.

Dibanding dengan Marxisme Ekologi, Ekofenomenologi termasuk teori dalam konteks etis yang dilakukan melalui pemahaman yang radikal sekaligus mendorong perombakan ontologis (Saras Dewi, 2015: 3). Oleh karena itu, dalam ekofenomenologi, manusia dan alam berada dalam wilayah ontologi yang saling tak terisolir. Manusia dan alam berada dalam satu konteks ontologi yang serupa. Dengan demikian, tak ada objek maupun subjek antara manusia dan alam, hal ini disebut sebagai ekuilibrium. Tugas ekofenomenologi dalam mempersoalkan kerusakan ekologi hari ini adalah dengan membuktikan kenaifan teori antroposentris dalam membagi posisi ontologi antara alam dan manusia. Ekofenomenologi dalam konteks ini membangun sebuah kerangka ontologi baru yang berbeda (Saras Dewi, 2015: 2).

Konsep Konservasi Berbasis Ekofenomenologi
Bagaimana fenomenologi melihat konsep konservasi yang tepat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama penting untuk dipahami bahwa praktik konservasi alam yang jamak ditemukan tak pernah lepas dari kesadaran antroposentris. Jenis kesadaran ini misalnya terlihat dari bagaimana narasi-narasi konservasi hutan alam antroposentris mengemuka. Misalnya paradigma yang menyatakan bahwa alam adalah properti yang sangat jelas terlihat dari penggunaan istilah “sumberdaya alam”. konservasi antroposentris ini berakar dari kisah pemahaman yang keliru bahwa alam hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pertanyaan ini tampak tak menukik, jika kita tidak mempersoalkan manusia macam apa yang disebut sebagai “manusia” dalam kerangka antroposentris yang secara tak sadar mendiskriminasi posisi manusia sebagai pengguna alam berdasarkan atas klas sosial tertentu. Bagaimana ceritanya program konservasi pulau di Sumatera ditujukan bagi dua manusia saja?

Dalam perspektif ekofenomenologi, penguasaan terhadap alam sebagai properti melestarikan cara perbudakan. Relasi antara objek dan subjek menguat, sehingga perombakan total atas ontologi begitu menguat. Merleau-Ponty, seorang fenomenolog akan membantu kita dalam menemukan paling tidak tiga insirasi dasar konservasi dari sudut padang ontologi-ekofenomenologi. Pertama, alam merupakan sesuatu yang fundamental bagi manusia, eksistensi manusia sangat bergantung pada alam. Eksistensi manusia tidak hanya soal fisik atau biologis, tetapi juga tentang eksistensi alam sebagai tubuh eksternal manusia. Artinya, alam dan manusia berada pada relasi intensional, cara manusia memproduksi makna sangat bergantung relasi intensional tersebut (Saras Dewi, 2015:89). Dengan kata lain, proses memproduksi makna hidup manusia akan berhenti saat alam tak dipandang setara.

Kedua, sebab alam merupakan ruang dan waktu manusia, maka proses konservasi alam harus melibatkan kesadaran akan faktisitas. Misalnya dalam memaknai “bencana” alam, manusia harus sadar bahwa yang disebutnya “bencana” itu tidak dapat diterima menurut logika faktisitas. Selalu ada yang seharusnya muncul pertama kali sebagai wujud awal tak berpretensi dari alam. Ketiga, masih mengikuti ontologi ala Ponty, konservasi alam merupakan cara menyelamatkan pengalaman dan kesadaran manusia. Menurut Ponty, apa yang disebut sebagai jiwa atau akal bagi manusia itu tak pernah terlepas dari interaksi kompleks antara manusia dan alam. Manusia memiliki jiwa atau akal secara niscaya membutuhkan interaksi dengan gunung, hewan, tumbuh-tumbuhan atau materi alam. Tanpa bertahan dengan interaksi itu, jiwa dan akal manusia tak berarti apa-apa. Bahkan tak akan berkembang. Pengalaman dalam proses interaksi itu telah menyebabkan manusia memiliki jiwa dan akal.

Tiga inspirasi konservasi lingkungan berbasis ekofenomenologi tersebut memberi dasar mengapa antroposentrisme tidak hanya keliru menurut analisa ekonomi-politik, tetapi juga lemah dayanya mempertahankan bangunan argumentasi dari sisi ontologi. Kegagalan konservasi alam berbasis antroposentrisme menjawab mengapa proses konservasi alam kita selama ini justru menghasilkan penindasan, serta menjadi jalan menjauhi ekuilibrium. 


Referensi
Dewi, Saras, Ekofenomenologi; Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015).
Foster, John Bellamy, Ekologi Marx; Materialisme dan Alam, terj. Pius Ginting, (Jakarta: Walhi, 2013). 
____________________________
Penulis adalah kurator @MabacaKomunitas, anggota PIP PP IPM 2014-2016, pegiat LaPSI PP IPM, beredar di twitterland dengan akun @FauAnwar.

Artikel keren lainnya:

Langkah Awal Mencari Arah Manifesto Kebudayaan IPM

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

http://buzzerg.com/
Arah kebudayaan, Els Bogaerts yang mengutip pengamatan Claire Holt adalah kecintaan pada masa lalu, kesadaran tentang masa kini, dan aspirasi terhadap masa depan (Lindsay& Liem: 2011, 255).  Arah kebudayaan juga dapat diartikan sebagai pertukaran kecenderungan manusia membuka dirinya terhadap realitas yang dipahami dan direfleksikannya. Sebagai contoh, masa romantisme adalah arah anti-tesis terhadap kecenderungan industrialisasi pada masa 1800an. Sebuah upaya untuk membendung model gerakan budaya, seni, intelektual, hingga manifestasi ide yang industrial-sentrisme. Maka dalam konteksnya masing-masing, kebudayaan adalah tameng yang dibuat unuk mengukuhkan identitas kolektif masyarakat. Foucault, memandang proses ini sebagai upaya politis terhadap terhadap deskripsi manusia yang dikonstruksikan melalui kekuasaan. Tentu saja, Foucault memandangnya secara negatif, bahwa upaya ini seringkali mengkangkangi kebebasan subjek menurut tahapan alamiah yang seharusnya ditentukannya sendiri. Pada tingkat ini, tidak ada pembicaraan mengenai persoalan utama arah kebudayaan sebagaimana yang dikutip Bogaerts dari Holt, tetapi bagaimana kebudayaan itu sendiri mendefinisikan upaya pembentukan eksistensinya dan melekatkannya kepada subjek. Kongres kebudayaan tahun 1984 di Indonesia walaupun membawa semangat dan spirit pembebasan ala negara pasca kolonial apakah juga dipandang demikian?. Apakah juga akan dipandang sebagai bentuk pengekangan, atau semacam semi-kolonialis dalam bidang kebudayaan dan identitas?.

Jennifer Lindsay memberikan jawaban singkat sekaligus pertanyaan awal yang cukup penting untuk hal ini. Menurut Lindsay, menyatukan masyarakat Indonesia ke dalam identitas kolektif (budaya) pada masa-masa awal kemerdekaan lebih banyak ditentukan oleh niat baik masyarakat untuk hidup bersama (Lindsay& Liem: 2011, 2). Objektifikasi terhadap kebutuhan untuk membangun mental bangsa memang berawal dari keinginan untuk hidup berdampingan. Realitas sejarah memang menunjukkan bahwa dalam hal tertentu kesepakatan tidak terjadi secara merata misalnya mengenai sejarah “kemerdekaan”. Antara Jakarta dan Banda Neira memahami awal kemerdekaan terpaut jauh empat tahun. Kesepakatan yang tidak final mengenai sejarah Indonesia sendiri tidak serta merta meleburkan keinginan membangun negara-bangsa. Dan sejarah Indonesia, meskipun mempengaruhi pendekatan terhadap kebudayaan, tetap saja menyisakan ruang terbuka untuk perdebatan kebudayaan yang ramai seperti pada masa 1950-1965. Untuk hal itu, konstruksi identitas kebudayaan Indonesia mungkin saja dilihat sebagai bentuk kesediaan masyarakat menerima bentukan eksternal. Kesediaan itu, dalam ruang geografis membuka masalah seperti yang terjadi pada awal 1900-an dimana identitas Indonesia, yang juga berarti identitas bangsa-ganda hanya dapat diselesaikan dengan kekuasaan melalui komitmen yang memiliki legitimasi dan atas dasar objektif dekolonialisasi harus segera dilakukan. Oleh karena itu, Lindsay memiliki keyakinan bahwa “menjadi Indonesia” adalah sebuah isu budaya.

Budaya dan Agama; sebuah diskursus tak henti
Ada yang menarik dari thesis besar Samuel Huntington dalam clash of civilization bahwa pasca perang dingin, basis konflik cenderung berubah. Pra perang dingin, konflik terjadi antara kekuatan kapitalisme dan kekuatan komunisme. Sedangkan pasca perang dingin, menurut Huntington, konflik lebih banyak berbasiskan politik identitas dan keagamaan. Tentu saja, dengan model generalisir, banyak mempersoalkan thesis Huntington tersebut. meskipun kegagalan Huntington dalam memperjelas pola dan menghindari generalisasi tidak serta merta menghancurkan thesisnya. Kecenderungan negara-negara Eropa seperti Prancis dan Belanda yang mulai mempertanyakan kebijakan multikulturalisme memperlihatkan kebenaran tersendiri. Ada persoalan dari fakta tersebut, seperti yang disinggung oleh Huntington, basis politik identitas dan keagamaan menjadi faktor konflik baru. Prancis yang membuka komunikasi dengan komunitas muslim melalui Conseil Francais du Culture Musulman (CFCM) dan Belanda dengan Contactorgaan Muslims en Overheid (CMO) menunjukkan ada persoalan komunikasi khusus dengan komunitas muslim sebagai bagian dari warganegara yang perlu menjalin komunikasi intensif dengan negara.

Di Indonesia, “Forum Komunikasi Umat Beragama” (FKUB) juga mengambil peran serupa, meskipun digagas berlandas pada kesadaran masyarakat sendiri. Agama dalam hal ini harus dianggap atau diasumsikan sebagai variabel yang membentuk nilai-nilai pemeluknya hingga manifestasinya ke dalam bidang ekonomi, politik hingga budaya juga mengikuti paradigma keagamaan yang dianut. Persoalan apakah nilai-nilai itu homogen atau tidak ternyata ditafsirkan secara keliru oleh pemimpin-pemimpin negara yang meninggalkan kebijakan multikulturalisme. Kritik mengenai hal ini berasal dari pengamat-pengamat seperti Mirza, Senthilkurman dan Ja’far. Negara-negara Eropa berharap dengan sistem pendidikan, dan kebijakan-kebijakannya dapat menghasilkan warganegara yang melebur secara integratif. Akan tetapi peningkatan terorisme merubah cara pandang negara-negara Eropa terhadap komunitas-komunitas berbasis politik identitas dan keagamaan khususnya Islam. Komunitas muslim di Prancis misalnya, dianggap tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat Prancis (Robert& Boli Tobi: 2014, 116). Ketidakmampuan berintegrasi dengan masyarakat mengandung juga arti bahwa komunitas muslim tidak mampu menjembatani antara ruang privat, ruang publik, dan sistem politis yang sedang berjalan. Maka bisa saja, tipikal komunitas muslim berubah dalam arti yang negatif menjadi ketidakpatuhan warga (civil disobedience) jika komunikasi antara negara dan komunitas muslim tidak menghasilkan kesepakatan sosial.

Dalam kasus-kasus di mana negara-negara Eropa meninggalkan kebijakan multikulturalisme mengindikasikan bahwa ketidaksepakatan mengenai keragaman ruang-hidup antara komunitas yang satu dengan yang lain memiliki benturan seperti tesis Huntington. Persoalan ini bertambah serius karena antara negara dan komunitas yang memiliki nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama tidak mampu mengkomunikasikan kompleksitasnya sendiri. Negara-negara Eropa melihat representasi komunitas muslim melalui tokoh masyarakat sudah cukup untuk memahami lebenswelt muslim secara keseluruhan. Padahal titik lemah komunikasi melalui aktor demikian sudah terlihat tidak cukup efektif. Titik lemah pertama adalah pemahaman agama sebagai praksis tunggal, padahal agama adalah keseluruhan hidup tetapi tidak absolut pada tataran makna. Kedua adalah, mengikuti pendapat Maxime Rodinson, Islam sebagai agama tidak dapat diteliti melalui simbol yang ditunjukkan pemeluknya, maka asumsi-asumsi awal tentang Islam harus dilepaskan terlebih dahulu sebelum mendalami Islam sebagai sebuah wacana, isu, idea atau dasar praksis hidup muslim.

Di Indonesia problem agama dalam konteks budaya juga sangat kompleks dan harus hati-hati membelahnya dari variabel budaya. Relasinya sebagaimana tampak tidak hanya di dunia ketiga, memerlukan penelurusan yang mendalam. Nilai-nilai normatif yang ada di agama dapat diterjemahkan secara dinamis dalam lingkup praksis. Posisinya juga sama dengan norma-norma di dalam budaya, yang ditransfigurasikan oleh penganutnya ke lingkup praksis. Dengan demikian, benturan antara agama dan budaya juga dapat terjadi di lingkup praksis. Budaya yang disandarkan pada banyak sumber dan suatu sistem otoritas sendiri menemukan bahwa agama juga pada tataran tertentu bertindak secara niscaya demikian. Maka problem kebijakan multikulturalisme yang ditinggalkan oleh Prancis dan Belanda seharusnya bukan karena dalih bahwa pemeluk agama tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat (atau berintegrasi dengan kesadaran kolektif masyarakat yang secara arbiter ditentukan arah kebudayaan dan kompetensi kebudayaannya melalui kekuasaan). Tetapi lebih pada persoalan bawaan bahwa agama dan budaya merupakan ruang-kehidupan yang hanya dapat diselesaikan dengan tindakan komunikatif. Sejauh ini, tidak semua agama dan budaya menolak bentuk-bentuk demokrasi. Dasar-dasarnya tetap ada dan tercermin bahwa demokrasi dapat diterima selama tidak banyak bersinggungan dengan elemen fundamental nilai-nilai agama ataupun budaya.

Problem multikulturalisme sebenarnya secara sederhana terletak pada kompetensi rasional tindakan komunikatif. Budaya yang berlainan memiliki model kompetensi rasionalitas yang berbeda. Perbedaan rasional dengan demikian juga turut mencirikan budaya yang berbeda. Budaya yang menggunakan medium bahasa rasionalnya sendiri berpotensi ditolak karena perbedaan konten narasi dan kompetensi analitis. Meskipun sebenarnya, kompetensi analitis tidak terlalu bermasalah jika dibandingkan dengan konten narasi itu sendiri.

Menemukan Manifesto Kebudayaan ala IPM
Setelah menjelaskan secara singkat tentang pergulatan budaya dan hal-hal yang melingkupinya, gagasan selanjutnya yang perlu diperjelas adalah bagaimana kebudayaan itu sendiri sebagai sistem ide dan perannya sebagai medium eksistensi subjek (manusia, masyarakat). Mengenai hal ini, untuk mengawalinya perlu disadari bahwa budaya sebagai sistem ide bersangkut dengan kekuasaan. Persoalan apakah budaya itu justru muncul sebagai transcript untuk menentang kekuasaan tidak mempengaruhi relasi budaya dan kekuasaan. Kekuasaan tidak harus bermakna atau berdiri dibelakang kemufakatan legitimasi, tetapi juga berada pada makna yang-mendominasi, yang-mempengaruhi, dan yang-menentukan. Wijaya Herlambang misalnya dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 memaparkan bagaimana kekuasaan memanfaatkan lajur kebudayaan sebagai sayap pelestarian kekuasaan atau hegemoni negara (Indonesia). Kebudayaan, jika menggunakan perspektif tersebut, dapat menghasilkan kesimpulan bahwa kebudayaan juga menentukan bagaimana masyarakat akan berkesadaran terhadap bidang-bidang lain seperti ekonomi. Ada asumsi yang dipegang kuat oleh kelompok mahzab kritis bahwa sistem bahasa mengandung intervensi khusus di dalam kesadaran kolektif masyarakat. atau dengan kata lain, budaya dapat mempropagandakan bagaimana seharusnya kesadaran kolektif masyarakat  berlangsung.

Kebudayaan sebagai “sayap rezim” yang diperkenalkan oleh Herlambang mengingatkan kita betapa pentingnya kesadaran kritis terhadap budaya yang mengemuka dalam konteks selera publik. Kesadaran tentang budaya menjadi pengingat bahwa budaya tidak datang dari ruang yang vakum dari pertautan antara politik dan kepentingan, antara manusia dan aras produksi ekonomi. Misalnya apa yang disebut sebagai budaya kreatif, yang merujuk pada kemampuan pengolahan alam menjadi benda pakai juga secara tak langsung mengarah pada mode produksi yang memisahkan produk kelompok hegemoni alat produksi seperti jaringan industri, hingga keterampilan yang disosialisasikan secara ekslusif melalui perantaraan modernitas seperti teknologi gawai atau bahkan listrik. Jangan bayangkan ekonomi kreatif yang bersandar pada proses budaya kreatif dapat dihasilkan oleh jenis masyarakat yang tidak setara; antara urban dan desa, antara yang didukung koneksi internet memuaskan, dan yang dibebankan mahalnya biaya koneksi listrik apalagi internet.

Manifesto kebudayaan gerakan pelajar harus menjadi dasar-dasar premis bahwa budaya tak pernah lepas dari tautan politik dan konteks tertentu akan menjadi bahan yang cukup untuk menghasilkan gerakan kebudayaan tandingan yang tak hanya memikat, tetapi juga membawa misi utuh. Inspirasi manifesto kebudayaan gerakan pelajar itu bisa mengambil inspirasi dari banyak tempat dan waktu. Sebagaimana yang pernah saya tulis soal Ahmad Dahlan dan strategi kebudayaannya yang “tak merugikan” siapapun dapat menjadi arena pembelajaran yang melibatkan simbol tokoh dan refleksi masa depan. Manifesto kebudayaan yang diperkenalkan oleh Ikatan Remaja Muhammadiyah (sekarang IPM) sebenarnya memberikan banyak catatan penting soal upaya-upaya pembelajaran manifesto kebudayaa. Gerakan matikann TV, gerakan Iqro’, revolusi semut, dan lain sebagainya yang begitu populer dikembangkan oleh IPM menjadi inspirasi yang tak selesai dipelajari. 

_____________________________
Penulis adalah kurator @MabacaKomunitas, anggota PIP PP IPM 2014-2016, pegiat LaPSI PP IPM, beredar di twitterland dengan akun @FauAnwar

Artikel keren lainnya:

Anarkisme, Gerakan yang Penuh Inspirasi

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

http://jura.org.au
Kerapkali, tak hanya sekali, makna istilah anarkisme menjadi demikian dangkal. Tidak hanya pengertiannya saja, melainkan juga imajinasi istilah ini. Bayangkan, kekeliruan itu tidak hanya digunakan oleh segelintir kelompok sebagaimana mereka menggunakan istilah “Islam Radikal” untuk menunjukkan “kelompok yang menggunakan kekerasan sebagai jalan dakwah”. Persoalannya bukan pada istilah Islam, melainkan pada adjektiva “radikal” yang sebenarnya justru bermakna “mendalam”. Begitu pun dengan istilah anarkisme. Entah media massa cetak atau media sosial, atau ceramah seorang profesor di podium akademik, anarkisme digunakan untuk merujuk tindakan destruktif, tak beradab, bengis, atau kejam.

Darimana istilah anarkisme berubah menjadi demikian serampangan?. Beruntung jika publik Indonesia belakangan ini diramaikan dengan penerbitan buku-buku yang membahas soal anarkisme, dua di antaranya ialah yang diterbitkan Marjin Kiri, yakni Sean M. Sheehan Anarkisme; Sebuah Perjalanan Gerakan Perlawanan (2014); John Moore (Ed.) dan Spencer Sunshine Aku Bukan Manusia. Aku Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Politik Anarkisme (2014).

Buku pertama, yang ditulis oleh Sheehan, membahas soal kebangkitan anarkisme sebagai sebuah gerakan baru yang disebut dengan “Neo-Anarkisme". Sheehan memberi contoh sejumlah demo anti-kapitalis yang jauh dari kesan “anarkis” seperti bakar ban, bentrokan jalanan, atau perusakan fasilitas umum. Jauh dari kesan dan taktik semacam itu, demo anarkisme justru muncul lebih kreatif. Misalnya “aksi duduk diam” yang begitu terkenal dengan gerakan anarkis kini menjadi suatu yang umum digunakan oleh banyak gerakan sosial lainnya. Tampaknya kreasi model demo yang “tanpa-kekerasan” banyak diinspirasi dari gerakan anarkisme, telah menjadi pilihan rasional kelompok non-anarkis. Model lainnya ialah “teater jalanan”, “barikade rantai manusia”, “pengibaran spanduk”, dan tentu saja sejumlah aksi demo yang fotogenik kerapkali menjadi sangat bermakna.

Sheehan juga memberi contoh lain soal penggunaan instrumen demo yang kreatif dan aneh. Siapa yang tidak janggal menemukan barisan polisi menghadapi ribuan boneka kain yang ditembakkan oleh sebuah tiruan ketapel abad pertengahan di atas udara? Kalau masih belum aneh, lihatlah aksi kelompok radikal cheerleaders. Yang lebih lucu adalah kenyataan bahwa demonstrasi damai ini dihadapi oleh polisi anti huru-hara dengan serbuan tembakan peluru karet dan gas air mata hingga granat getar. Sheehan menggambarkan “gelap matanya” aparat keamanan menghadapi kreatifitas demonstrasi yang menentang peringai WTO di Quebec City tahun 2001 dengan melakukan penahanan ilegal terhadap 631 demonstran. Untuk hal ini, kita semua pasti ingat kasus baru-baru ini di mana Adlun Fikri, pegiat literasi di Ternate dipenjara karena merekam tindakan pemalakan seorang oknum polisi. Adlun, tak bersenjata, juga sama sekali tak berbahaya. Saya pernah bertemu dengannya saat diskusi di Rumah Baca Komunitas, dan perlu diketahui, orang ini sama sekali tak tampak tega menyakiti siapapun.

Tindakan-tindakan “perlawanan” yang tak tampak “melawan” ini merupakan kejadian sehari-hari yang ditemukan. Di Indonesia, sekelompok ibu-ibu menghadang aparat keamanan yang hendak membuka barikade pemblokiran masyarakat terhadap alat-alat berat yang merusak alam. Dan seperti yang sudah-sudah, seorang ibu yang tengah hamil ditendang perutnya. Dalam banyak hal, tindakan anarkisme yang penuh dengan sikap tak “melawan” dihadapi begitu keras, ilegal, dan keji, yang menandakan si pengguna tak menggunakan akal sama sekali. Beberapa orang anarkis seperti Theodore Kaczynski sang penulis Unabomber Manifesto ini bahkan menjalani hidup tanpa listrik, dan menanam sendiri sayuran yang dimakannya.

Istilah anarkisme berasal dari bahasa yunani yang berarti “tanpa pemimpin”, “tanpa pemerintah” atau “tanpa negara”. Pengertian ini jangan sampai membuat kita jatuh kepada pemahaman bahwa anarkisme dengan segala variasinya menolak negara. Sebagaimana dijelaskan Sheehan, anarkisme menolak negara sebagai “realitas transendental” sekaligus sebagai “perangkat empiris” yang  membuat negara berarti “suatu tatanan berkuasa yang menuntut dan menghendaki kepatuhan warganya..” (hlm. 24). Tentu saja, dalam pandangan republikan, hal ini termasuk tak dapat diterima, tetapi anarkisme punya penjelasan kasuistik yang menarik untuk direfleksikan. Apalagi mengingat anarkisme sebenarnya merupakan perwujudan perlawanan sehari-hari, spontan, yang tak terhitung bentuk serta konteksnya. Misalnya, dalam negara yang berdasar hukum dan menganut demokrasi sekalipun, sejumlah referendum yang menyangkut nyawa banyak orang ditentukan oleh segelintir kelompok. Siapa menentukan masyarakat Indonesia secara keseluruhan dari ujung timur ke ujung barat harus bersiap-siap menghadapi ekspansi pemodal asing, sementara kebutuhan pokoknya pun tak dapat dijamin aman oleh negara?. Untuk soal ini memang dapat diperdebatkan (tapi siapa yang peduli? Bukankah eksistensi negara diukur lewat kapasitasnya menjamin hidup komunitas?).

http.amazon.com
Buku kedua, ditulis oleh John Moore dan Spencer Sunshine;Aku Bukan Manusia. Aku Dinamit; Filsafat Nietzsche dan Politik Anarkisme, merupakan sebuah percobaan reflektif tentang kaitan antara pemikiran Nietzsche dan anarkisme. Sebenarnya percobaan begini bukan sesuatu yang asing. Sebagaimana diketahui, belakangan ini pemikiran Nietzsche kerap disinggung untuk membahas persoalan nasionalisme, agama, militerisme, atau hukum. Jika Heath dan Potter menganggap bahwa “gerakan politik radikal selalu memikat orang gilanya sendiri-sendiri” maka karya Moore dan Spencer ini tak pelak menunjukkan justru Nietzsche sebagai pemikir “gila”, dengan pikiran-pikirannya itu begitu memikat gerakan radikal semacam anarkisme.

Radikal dan anarkisme memang berdekatan sebab kedua-duanya mengambil segala yang berada di akar untuk menjadi landasan hidup. Bukan sesuatu yang begitu superfisial sekaligus menjadi penyebab keruntuhan peradaban manusia. Moore yang terkenal mengusung Primitivisme sebagai teori sosial dalam salah-satu wawancara menyatakan bahwa anarkisme membawa kritik totalitas peradaban dengan berusaha memulai transformasi yang menyeluruh meliputi segala aspek kehidupan manusia. Radikalnya anarkisme terletak persis pada sifat kritik totalitas peradaban tersebut dan sifat komprehensifnya. Hal ini sama nyaris dengan bagaimana penganut kepercayaan seperti Islam melihat bahwa dasar dari masalah kontemporer adalah totalitas peradaban yang tercerabut dari nilai-nilai ilahiah. Tentu saja ini bukan asumsi, karena sebuah kuis internet pernah menantang perbedaan-perbedaan gagasan substantif antara Kaczynski tentang kerusakan alam akibat industri dan gagasan Al-Gore dalam buku Earth in the Balance. Hasilnya apa? Tak syak lagi banyak orang yang kesulitan membedakan nukilan Kaczynski dalam Unabomber Manifesto dan nukilan Al-Gore dalam Earth in the Balance.

Buku Aku Bukan Dinamit, secara praktis sebenarnya hendak mencicil primitivisme sebagai teori sosial, dan menjelaskan kepada khalayak tentang inspirasi-inspirasi Nietzsche bagi anarkisme. Penting juga untuk dicatat bahwa Moore dan Spencer mengedit sejumlah tulisan yang secara garis besar tak menunjukkan usaha-usaha untuk menunjukkan bahwa anarkisme melakukan penyeruan untuk “kembali ke masa lalu”. Justru muncul kesan bahwa anarkisme merupakan gerakan yang membuka preseden baru bagi peradaban melalui penghapusan kekuasaan. Letak penting buku ini bagi penikmat gagasan anarkisme adalah melihat masa depan sebagai dunia yang mungkin. 

___________________________
Penulis adalah kurator @MabacaKomunitas, anggota PIP PP IPM 2014-2016, pegiat LaPSI PP IPM, beredar di twitterland dengan akun @FauAnwar.

Artikel keren lainnya:

Catatan Fasilitator TMU 2016: Perjalanan ke Palembang (1)

Oleh: Masulyadi Wijaya*

foto pribadi moel
“Selamat datang di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Palembang. Pasang sabut pengaman anda sampai pesawat ini benar-benar dinyatakan berhenti oleh otoritas Bandara” demikian pemberitahuan awak cabin Sriwijaya Air yang aku tumpangi.

Perjelanan ini lebih sebagai narasumber untuk suatu pelatihan. Bukan sama sekali dimaksudkan untuk wisata. Meskipun acap kali, usai memberikan fasilitasi, aku berkunjung ke destinasi disuatu kota. Jadi begini, di bulan Januari aku ketemu Zulfikar. Anak peternakan UGM dan aktivis disebuah gerakan; Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

“Bang Mul, bisa ngisi nanti di kagiatan (pelatihan) kami”? demikian Dzul sampaikan saat aku silaturrahim ke rumahnya di mBantul akhir desember 2015.

“Oke, mudah-mudahan tidak ada agendaku yang mendesak. Tapi pastinya nanti akan aku beri kabar, ya”? begitu tawarku kepada Dzul.

Tidak berapa lama setelah sampai di Selayar Dzul mengkonfirmasi kesediaanku.

“Bagaimana, abang bisa gak”? ujarnya melalui Whatsapp, agak mendesak.

“Soalnya mau dibookingkan pesawat. Biar tidak mahal je” terangnya memberi argumentasi.

“Yo wes, aku ngisi materi opo Kar”? begitu tanyaku, saat ku jawab WA-nya yang sudah meminta kepastian.

“Gerakan sosial baru dan analisis sosial” jawab Dzul.

“Wadduh, berat amat materinya. Lha itu dua materi yang berbeda lo. Bagaimana kalau aku ngisi, salah satu saja. Tidak boleh disatukan lo Kar. Itu mesti dijadikan dua materi” terangku menprotes penyatuan dua materi yang sebenarnya tidak boleh disatukan itu.

“90 menit itu gak cukup lo” aku masih membalas WA-nya.

Aku akhirnya dihubungi oleh Lufki lewat WA dan Fatma lewat BBM. Bendahara dan Sekretaris panitia penyelenggara.

“Aslkm kak Mul. Ingin konfirmasi terkait jadual pemberangkatan untuk ngisi acara di Palembang. Mohon konfirmasinya” demikian WA Lufki.

Maka dibelikanlah aku tiket Makassar – Jakarta – Palembang. Maskapai Sriwijaya Air.

Akhirnya fiks jadual dan aku membawakan materi gerakan sosial baru. Sementara analisis sosial dibawakan oleh seorang lainnya. Ya begitulah surel yang dikirim Dzulfikar ke emailku. Hal pertama yang aku lakukan adalah menyiapkan bahan. Mencari buku dan jurnal. Referensi utamaku yaitu sebuah buku yang di tulis oleh Rendra Sigh. Judulnya gerakan sosial baru yang diterbitkan oleh Resist Book. Aku juga mencoba membaca bukunya Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach yang di terbitkan oleh Universitas Indiana Press.

Yang sekunder aku baca buku yang edit oleh Noer Fauzi, judulnya “Gerakan-gerakan Rakyat di Dunia Ketiga” diterbitkan Insist Press, “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” karya PhD Ilmu Politik pertama Indonesia lulusan Cornell University, Deliar Noor, dan “Intelegensia Muslim dan Kuasa” karya Yudi Latif.

Tidak ketinggalan jurnal Wacana yang membahas topik GSB ini. Ada juga tulisannya pak Sutoro Eko – dosen STPMD Jogja – di jurnal fisipol UGM.

Aku kemudian merangkum menjadi bahan di power point. Pertama, soal konteks dan momentum yang melahirkan gerakan sosial. Baik gerakan sosial lama maupun baru, selalu ada situasi yang melatari lahirnya suatu gerakan sosial.

Kedua, soal isu gerakan yang cenderung lebih jamak. Artinya tidak lagi melulu soal identitas kelas. Pertentangan antara borjuasi dan proletar. Antara pemodal dan buruh.

Isunya dari soal hak-hak perempuan hingga anak. Dari Abu Jahal hingga Abu lain yang merusak lingkungan. Wes, pokoknya lebih banyak isu deh.

***

Lupakan sejenak soal yang (orang jawa bilang) ndakik-ndakik itu. Aku memotret beberapa bagian bandara itu. Lalu jalan menuju gate kedatangan. Aku sampaikan ke Dzul, bahwa sudah sampai. “Oke bang, lagi di jalan nih” begitu ia menjawab sms ku.

Di pintu aku di kerubuti oleh supir-supir. “Ada jemputan pak” begitu aku berkilah. Lalu menuju tempat duduk. Membakar kretek. Belum sampai habis si Dzul sudah menelpon. “Nengndi e bang ..”? tanyanya khas Jogja. “Oh iya aku sudah lihat kamu, tunggu situ aja. Aku menuju ke tempatmu” jawabku di telepon. Aku naik di mobil inova yang mereka bawa. Dzul duduk disamping sopir. Aku ditengah.

“Makan mpek-mpek yo bang ..”? begitu aku ditawari sopir yang juga Ketua IPM Sumsel.

“Ada yang lain gak, aku gak terlalu suka dengan mpek-mpek” jawabku.

“Pindan mas” jelasnya.

“Oke, kita coba“ ujarku
.
Mobil lalu berbelok-belok dan keluar dari bandara. Kami menyusuri jalan-jalan yang sementara berbenah untuk public transportasi. Yang menghubungkan pusat kota Palembang dengan bandara. Sebuah terobosan yang baik, bukan?

Kami lalu singgah tidak jauh dari bandara. Sebuah rumah makan di sisi kiri jalan. Aku pesan pindan ikan. Dzul pesan daging.

Sembari menunggu pesanan. Aku makan krupuk. Ini kebiasaan Jogja sodara-sodara. Lalu pelayan membawa ikan sungai. Bentuknya kecil dan di goreng. Kriyuk-kriyuk. Aku tidak tau, ikan jenis apa. 

Aku mencobanya. “Ah tidak cocok” gumamku dalam hati. Hanya habis seekor. Padahal ikannya seuprit saja ukurannya.

Tibalah saatnya makan berat. Masakan pindan, khas Palembang. Uenak rupanya sodara-sodara. Sedikit asam. Tapi top deh. Suer bro … Aku suka. Setelah ludes, lalu ditutup dengan juice alpokad.

______________________
Pemateri Taruna Melati Utama Palembang 2016, Alumni PP IRM, Sekarang lagi gemar fotografi dan Diving, penulis bisa ditemukan dengan di twitterland dengan akun @Moelugm

Artikel keren lainnya:

KH. Ahmad Dahlan; “Yang Berjuang Tanpa Merugikan”

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Suatu kali saya termenung ketika membaca kutipan dari KH. Ahmad Dahlan yang ditulis oleh KRH.Hadjid, seorang muridnya yang termuda.

“Manusia satu sama lain selalu melemparkan pisau cukur, mempunyai anggapan pasti paling tepat dia melemparkan celaka kepada orang lain”. ” (Ahmad Dahlan, dalam KRH. Hadjid, 2013: 14)

Ingatan terhadap kutipan tersebut melekat beberapa lama. Saya merasa begitu bermakna ketika menggambarkan pribadi Ahmad Dahlan sebagai seorang yang mendorong transformasi sosial “tanpa merugikan” siapapun. Tentu saja terdapat beberapa alasan untuk menjelaskan mengapa deskripsi itu demikian penting. Pertama, gagasan transformasi sosial yang “tanpa merugikan” siapapun merupakan model narasi transformasi sosial dari gerakan sosial kontemporer yang dicirikan sebagai; sederhana dilakukan dan mudah direplikasi. Muhammadiyah, sebagai gerakan sosial membuktikan model narasi transformasi sosial tersebut. Dahlan membangun gerakan Muhammadiyah tanpa disain yang komprehensif, sebab itu banyak kalangan yang di kemudian hari memberikan penilaian kritis terhadap Muhammadiyah. Misalnya bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan sosial sejak awal tidak menguji pendekatan politik dalam proses transformasi sosial.

Seperti yang diketahui secara umum, Muhammadiyah pada tahun awal berdirinya memang tidak didisain untuk perjuangan politik kekuasaan. Melainkan sebagai respon terhadap kondisi pendidikan dan kesehatan. Hal itu seringkali dinilai sebagai sebuah kesalahan dan menjadi penyebab keruntuhan (decline) relasi Muhammadiyah dan kekuasaan di masa sekarang. Penilaian demikian sebenarnya telah mereduksi banyak hal yang dapat dipelajari dari Dahlan. Beberapa upaya untuk mengkaji dimensi pemikiran Dahlan misalnya pada beberapa dasawarsa ini meningkat dalam rangka membuktikan keterhubungan kecendekiawanan Dahlan dan pemikir Barat. Jadi tidak sekedar membuktikan pengaruh Muhammad Abduh terhadap model pembaruan dan transformasi sosial Dahlan. Dalam konteks ini, Dahlan sebagai penggerakan transformasi sosial menjadi penting untuk dikaji kembali.

Dalam konteks pemikiran penggorganisasian massa, Dahlan telah memberikan kontribusi yang sangat penting. Tentang urgensitas membangun gerakan sosial secara perlahan, sederhana, dan mudah dilipatgandakan (replicate). Menjamurnya lembaga pendidikan Muhammadiyah menjadi salah-satu bukti yang menyatakan kemampuan replicate Muhammadiyah sebagai gerakan sosial. Persis dalam konteks ini, Dahlan memberikan pelajaran penting tentang model transformasi sosial yang sederhana dan mudah direplikasi. Lembaga pendidikan pada masa pendudukan Belanda dan Jepang bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Partisipasi elit lokal dalam mengapresiasi pemikiran Dahlan juga merupakan suatu informasi penting tentang bagaimana kemampuan Dahlan dalam menjalin relasi untuk membangun partisipasi sipil.

Alasan kedua, beberapa waktu ini muncul banyak sekali istilah untuk menjelaskan mode pemikiran Dahlan. Beberapa istilah itu misalnya “teologi al-Ma’un”, “teologi al-Ashr” (Azaki Khoiruddin, 2015), “teologi Mustad’afin” (Sokhi Huda, 2011), “teologi sosialisme Ahmad Dahlan” (Ibnu Tsani, 2009), “teologi sosial” (L. Mustafa, 2014) dan sejumlah istilah lainnya. Meskipun menggunakan istilah yang berbeda-beda, eksplanasi umumnya bicara soal integrasi antara praktik ibadah dan transformasi sosial. Misalnya, teologi Mustad’afin dianggap sebagai bentuk baru dari teologi al-Ma’un yang menjelaskan dasar asumsi teologi bahwa “praktik ibadah harus langsung terkait dengan masalah sosial” (Sokhi Huda, 2011). Istilah-istilah itu pada dasarnya hendak menjelaskan model teologi yang digunakan oleh Dahlan.

Ketiga, banyak hal yang dapat dipelajari dari perjalanan Dahlan sebagai seorang intelijensia sekaligus pendiri Muhammadiyah, terutama dalam perihal kemanusiaan. Letak penting deskripsi “yang berjuang tanpa merugikan” adalah semacam bentuk politik relasi yang akomodatif antara Dahlan dan berbagai macam individu serta kelompok.

Keempat, makna “yang berjuang tanpa merugikan” menemukan konteks kritisnya untuk meninjau kembali dialektika gerakan Islam dalam merespon konteks perjuangan politik kontemporer yang digambarkan oleh Anthony Giddens sebagai “beyond left and right”. Gempuran kapitalisme, korporatisme, dan eksploitasi ekologi merupakan tantangan yang tidak saja mengancam masa depan manusia, juga mengancam relasi yang rasional antara manusia dan alam, dan tentu saja menjadi bukti tak terelakkan bahwa manusia gagal menjadi khalifah fi al-ardh. Dalam konteks demikian, bagaimana gerakan Islam hendak mengembangkan narasi perlawanannya?. Dahlan meninggalkan suatu warisan yang penting tentang memperkuat gerakan Islam melalui pergulatan yang reflektif tentang arti penting membangun identitas ummat Islam sebagai rahmatan lil alaamin. Sebuah pembentukan identitas yang diawali dengan rekonstruksi tentang peran penting ummat Islam sebagai komunitas yang ramah terhadap manusia.

Dahlan mewariskan suatu sikap untuk menciptakan kembali identitas ummat Islam. Dahlan mengetahui arti penting pembentukan identitas ummat Islam dan ajaran Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Karena dengan bertolak dari identitas ini, ummat Islam diajarkan untuk meletakkan keberpihakan terhadap kelompok tertindas.

Membaca Dahlan dari Al-Ashr dan Al-Ma’un

Terdapat satu kemiripan tentang arti penting antara Al-Ashr dan Al-Ma’un. Untuk menemukan satu kemiripan tersebut saya mencoba untuk membaca kembali hal yang hendak disampaikan oleh dua surat tersebut, serta mengapa Dahlan menjadikannya sebagai surat yang penting. Dahlan dalam catatan Hadjid banyak bicara soal makna konsep “Al-Haqq”, “Iman”, “Amal Sholeh”, yang banyak menjadi pengantar dalam proses pemaknaan hidup Dahlan. Kemiripan antara Al-Ashar dan Al-Ma’un adalah pada afirmasi soal pentingnya orang beriman melengkapi ketaatannya kepada Tuhan melalui perbuatan yang bermanfaat di dunia. Dahlan tampaknya melihat perbuatan baik (amal sholeh) sebagai bagian penting dari kehidupan seseorang di dunia. Dalam Islam, etika immortalitas jiwa menjadi jawaban mengapa seorang muslim pertama-tama harus menyakini soal hari pembalasan, sebab seluruh amalan di dunia akan mendapatkan balasan.

Berdasarkan pada catatan Hadjid, Dahlan mengajarkan Al-Ashr dan Al-Ma’un dalam rentang waktu yang lama. Al-Ashr sendiri diajarkan oleh Dahlan kepada para muridnya selama 7 bulan. Hadjid sebagai salah-seorang murid yang berhasil meringkaskan catatan pengajian Dahlan yang berkaitan dengan Al-Ashr menguraikan tentang amal sholeh. Entah bagaimana, keterhubungan epistemologis antara praksis Dahlan dalam kehidupan organisasi dengan membentuk Muhammadiyah dapat dijelaskan melalui penekakan terhadap konsep amal sholeh. Dahlan membimbing murid-muridnya untuk memahami arti penting surat Al-Ashr dan Al-Ma’un. Berkaitan dengan proses itu, Dahlan tidak jarang berkata:

“kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia-manusia yang bodoh dan lemah” (KRH. Hadjid, 2013: 28).

Amal Sholeh bagi Dahlan berkaitan erat dengan pembuktian Iman. Manusia yang disanderai oleh keinginan menguasai benda merupakan pertanda orang yang mudah sakit dan mudah lemah. Iman membebaskan manusia dari keterikatannya terhadap benda-benda serta nafsu yang memalingkan. Arti penting Al-Ashr dan Al-Ma’un masih terus berkaitan dengan cara Dahlan mengolah cara pandangnya terhadap dunia melalui dua surat tersebut. Al-Ma’un misalnya menjadi cara Dahlan untuk mengantarkan murid-muridnya untuk memahami arti penting Ibadah yang tidak bisa dilepaskan dari amal sholeh. Dahlan berkata:

“Banyak juga ummat Islam yang menjalankan amal sholeh tetapi mementingkan amal yang sunnat, tidak memperhatikan amak yang wajib, seperti berjihad mengorbankan harta benda dan jiwa..”

Tanpa bermaksud untuk membandingkan, antara surat Al-Ashr dan Al-Ma’un tampaknya ada suatu kekhususan tertentu yang didapatkan dari Al-Ashr. Alasannya sederhana, beberapa topik yang dicatat oleh Hadjid banyak berkaitan langsung dengan isi Al-Ashr. Dari sekian Bab “Pelajaran” yang dicatat Hadjid, Al-Ashr menjadi topik utama, misalnya; “Al-Ashr”, “Amal Sholeh”, “Watawa-shau Bil-Haqq”, dan “Watawa-shau Bish-Shabri”. Dahlan sendiri sebenarnya tidak hanya banyak bicara soal Al-Ashr atau Al-Ma’un, tetapi juga beberapa surat seperti Al-Qari’ah, Shaf, atau Al-Hadid (Hadjid, 2013).

Letak penting surat Al-Ashr dan Al-Ma’un ialah pada topiknya yang mengeksplorasi soal relasi niscaya antara keimanan dan amal sholeh. Dalam konteks pemikiran Islam di Indonesia awal abad 20, relasi niscaya antara iman dan amal sholeh merupakan suatu yang tidak umum. Bahkan Hadjid sendiri mengakui terjadi kegemparan ketika ide-ide Dahlan yang banyak menyerap Muhammad Abduh dan Abu Dzar tersebut menjadi tema-tema dalam ceramah Dahlan. Pada masa itu, pemikiran Islam masuk pada fase diskursus soal tasawuf, sebagai suatu respon yang panjang dari kekecewaan politik dan Islam sebagai gerakan sosial. Fase tersebut dalam pemikiran Islam bertahan cukup lama, terutama saat Eropa dan Amerika memulai ekonomi politik ekspansif di negara-negara dunia ketiga, termasuk Asia. Maka bukan suatu hal yang ganjil jika pemikiran Dahlan dari sisi teologis terhubung langsung dengan konteks dinamika kehidupan sehari-hari.

Persoalan amal sholeh, merupakan penjelas mengapa Dahlan dan gerakan Muhammadiyahnya mampu direplikasi. Surat Al-Ashr dan Al-Ma’un yang banyak bicara soal amal sholeh menyatakan bahwa beramal di dunia dalam rangka mencapai bentuk manusia sempurna itu sebenarnya mudah. Modal transformasi sosial Islam yang diajarkan oleh Dahlan bercirikan mudah, sederhana, dan mampu direplikasi. Peran penting surat Al-Ashr dan Al-Ma’un berada di sini.

Daftar Pustaka
KRH. Hadjid, Pelajaran KHA. Ahmad Dahlan; 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, Yogyakarta: MPI PP Muhammadiyah, 2013.  


*Tulisan ini merupakan bahan diskusi Komunitas Profetik IMM Fisipol UMY, 7 Oktober 2015. Penulis berkeliaran di twitterland dengan akun @FauAnwar

Artikel keren lainnya:

Bangun Sikap Toleran dengan Kajian Religious-Culture Studies

Pasca reformasi, kekerasan dan intoleransi yang dialami oleh kelompok masyarakat tidak surut. Agama seringkali dijadikan dalih di belakang fenomena tersebut. apakah agama tengah mengalami kebuntuan dialektis terhadap zaman? Di sisi lain, pada saat yang bersamaan muncul persuasi perdamaian berbasis nilai agama-budaya yang dilakukan oleh komunitas-komunitas agama tertentu sebagaimana misalnya komunitas Islam Green Deen, atau Gereja Minnonite. Individu-individu semacam Dalai Lama, juga melakukan persuasi perdamaian.

Berkaitan dengan fenomena tersebut, LaPSI PP IPM menyelenggarakan diskusi bertemakan “Islam Cinta di Tengah Dunia yang tengah Reflektif” bertempat di Gedung PP Muhammadiyah Jl. KHA. Dahlan 103. Diskusi edisi kajian Religious-Culture Studies yang diadakan tanggal 20 Maret 2016, mengundang Choiruz Zimam, pemerhati Gerakan Islam Cinta.

“Islam Cinta merupakan sebuah jalan sufistik. Dasarnya secara umum terletak pada pemaknaan al-asm Tuhan, yakni; ar-Rahman, dan ar-Rahim. Saya kira istilah Islam Cinta lebih tepat di tengah dunia yang kehilangan pesonanya.” Ungkap Choiruz Zimam yang juga komisioner KPU Gresik.

Menurut Choiruz Zimam, Islam jangan sampai menjadi simbol kekerasan. “Saya terhenyuh sewaktu mendengar protes seorang pemeluk agama yang peribadatannya dihentikan oleh sekelompok ormas Islam yang tidak toleran. Mereka bilang jangan halangi kami menemui tuhan kami, mendengar itu saya terhenyuh.”


Diskusi edisi kajian Religious-Culture Studies LaPSI PP IPM ditujukan bagi penguatan khazanah pemikiran keagamaan dan kebudayaan yang menjadi pilar kehidupan manusia berabad-abad. “Saya kira diskusi ini penting untuk menumbuhkan sikap toleran, terutama pelajar” komentar Uswatun Khasanah, pegiat LaPSI PP IPM. (@FauAnwar)

Artikel keren lainnya:

Komunitas Pelajar Muslim di Tengah Pergulatan Ekonomi Global

Bulan Oktober tahun 2015 IPM memperoleh apresiasi sebagai gerakan sosio-enterpreneur di tingkat kepemudaan. Bagaimana mengembangkan gerakan sosio-enterpreneur IPM di era Asean Economy Community (AEK) atau yang dikenal dengan MEA?. Bagaimana gerakan pelajar mengembangkan sosio-enterpreneur?.

Isu mengenai sosio-entepreneurship dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi salah-satu perhatian IPM. Proses diskusi-diskusi soal sosio-entepreneurship diharapkan menjadi arena pematangan orientasi.

Dalam kelas kajian Ekonomi-Politik, LaPSI PP IPM mengundang Akhmad Akbar Susamto, Alumnus Monash University, alumni PD IRM Kota Yogyakarta.

“Kami mengundang mas Akhmad Akbar karena beliau termasuk seorang peneliti ekonomi muda yang progresif di bidangnya. Kebetulan juga beberapa teman pernah ikut kelas workshop ekonomi Islam yang mas Akhmad Akbar selenggarakan tahun lalu di Pascasarjana UGM.” jelas Azaki Khoirudin, Sekjend PP IPM.

Diskusi yang diselenggarakan tanggal 15 Maret 2016 bertempat di Gedung PP Muhammadiyah Jl. KHA. Ahmad Dahlan dihadiri oleh sejumlah aktivis, pegiat sosial, serta siswa-siswa SMA.

“Sebenarnya sosiopreneurship di lingkup MEA itu termasuk kecil. Indonesia sebenarnya punya kans yang besar untuk maju ke tingkat dunia. Sebelumnya Indonesia itu yang teratas perekonomiannya dibanding negara-negara ASEAN yang sekarang jadi saingannya seperti Thailand atau Vietnam.” Imbuh Akhmad Akbar. (@FauAnwar)

Artikel keren lainnya:

LaPSI PP IPM Buka Kelas Mikro Riset Berbasis Pendekatan Appreciative Inquiry

Dalam rangka penguatan riset berbasis Appreciative Inquiry (AI), LaPSI PP IPM menyelenggarakan kelas Mikro Riset Berbasis AI. Kelas mikro riset yang diadakan pada tanggal 14 Maret 2016 ini difasilitasi oleh Davi Efendi, alumnus Hawai University, dan alumni PP IRM.

“Kelas Mikro Riset ini adalah tindaklanjut dari diskusi-diskusi tentang AI yang dilakukan sebelumnya oleh IPM. Saya kira kelas mikro riset ini akan membantu teman-teman IPM yang belum sempat mempraktikkannya di bawah bimbingan praktisi. Mas David pernah terlibat dalam riset AI tingkat nasional, dan pernah dibimbing oleh Prof Andy Wilson.” Ungkap Azaki Khoirudin, Sekretaris Jenderal PP IPM.

Appreciative Inquiry (AI) menurut David Efendi merupakan salah-satu metode yang tepat untuk melahirkan ide-ide inovatif dan kreatif. “AI sebagai metode punya kekuatan pada caranya mengolah realitas yang unik. Pendekatan ini sangat menarik karena memfasilitasi relasi yang sangat humanis.”

Kelas Mikro Riset Berbasis AI merumuskan topik utamanya yakni “Tawuran dan Daya Rekonsiliasi Pelajar.” Kelas mikro riset ini akan dilanjutkan dengan sejumlah pertemuan dan agenda pengambilan data di lapangan. (@FauAnwar)

Artikel keren lainnya:

IPM Harus Advokasi Pelajar Korban Kekerasan

Tingkat kekerasan di sekolah menjadi pembahasan yang belum selesai. Berbagai kajian dan praktik dilakukan untuk menemukan model sekolah yang manusiawi. Bagaimana potret kajian dan praktik itu setelah sekian tahun belakangan ini? hal penting apa saja yang dapat diperoleh? bagaimana sekolah tanpa kekerasan berhasil memfasilitasi anak lebih baik?.

Lembaga Pengembangan Sumberdaya Insani (LaPSI PP IPM) bekerjasama dengan Student Empowerement Center (SEC PW IPM DIY) menyelenggarakan diskusi bertemakan “Sekolah Ramah Anak dan Peran IPM.”

Diskusi yang diselenggarakan 5 Maret 2016 di gedung PP Muhammadiyah Jl. KHA. Dahlan tersebut mengundang Syifaul Arifin, Redaktur Solopos, alumi PP IRM, sekaligus salah-satu penggagas Gerakan Tanpa Kekerasan IRM tahun 2000.

Dalam diskusi, Syifaul yang akrab disapa Mas Faul mengatakan bahwa kekerasan di sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan yang cenderung diskriminatif. Guru dan orangtua harus menjadi pilar penting siswa dalam membentuk kepribadian yang apresiatif dan toleran.

Diskusi yang mengundang siswa SMA di DIY itu juga turut berbagi pengalaman soal kekerasan di sekolah, mulai dari bullying hingga tawuran. “Kami sebagai siswa berupaya untuk menjadi agen perdamaian” ungkap salah-seorang peserta.

Menurut Syifaul, IPM memiliki peran yang sangat penting dalam mengadvokasi tindakan-tindakan kekerasan di sekolah. "IPM minimal menjadi pendamping atau fasilitator dalam kasus-kasus kekerasan tertentu. Saya kira peran IPM letaknya di sini, membantu teman-teman pelajar memastikan dirinya didukung. Maka penting sekali ada lembaga di bawah tiap pimpinan IPM yang fokus pada agenda advokasi kekerasan di sekolah" imbuh Syifaul. (@FauAnwar)

Artikel keren lainnya: