BERANDA · MENU · ARTIKEL · KAJIAN IPTEK

PP IPM Sukses Selenggarakan Indonesia Young Forum Leader


Jakarta—Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) pada Senin (29/02) menggelar Seminar Internasional di Auditorium FKIP Universitas Muhammasiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA). Seminar yang mengambil tajuk Indonesia Young Forum Leader ini menggandeng International Peace Youth Group (IPYG) Korea Selatan, acara ini dihadiri ratusan aktivis pelajar Muhammadiyah.
 
Mengambil tema "Engaging Students to Understand Intrntional Law for Cessation of War and World Peace", seminar ini dibuka oleh Dr. Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Turut hadir pula Wakil Rektor III UHAMKA, Dr. Bunyamin, M.Pd.I. memberikan welcome speach. Turut hadir pula Abdullah Mansyur, Pejabat Fungsional Diplomat Utama pada Direktorat PWNI dan BHI, Kementerian Luar Negeri RI.

Bertindak sebagai narasumber, diantaranya Wawan Purwanto dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang menyampaikan materi "What The Best About Being Terrorist?", Al Busyra Basnur, Direktur Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI.

Kegiatan ini diakhiri dengan penandatanganan MoU antara PP IPM dengan IPYG dengan 3 pin utama kesepahaman, yakni collaboration, community, dan exchange. Harapannya, kedua organisasi pelajar ini dapat bersinergi menyatukan kekuatan dan bersama-sama memberikan power kepada dunia agar melindungi hak-hak pelajar dan kaum muda sebagai generasi penerus.


Artikel keren lainnya:

Belajar Appreciative Inquiry dengan Bukik Setiawan

YogyakartaAda banyak cara mengelola organisasi atau komunitas. Abad 21 menawarkan sejumlah pendekatan baru, menarik, dan inovatif tentang bagaimana mengembangkan organisasi. 

Appreciative Inquiry (AI) termasuk salah-satu pendekatan yang menarik untuk digunakan. Lembaga Pengembangan Sumberdaya Insani (LaPSI) PP IPM mengadakan diskusi rutin pada 28 Februari 2016 dengan tema “Menggerakkan Organisasi Pelajar dengan Appreciative Inquiry”.

Bukik Setiawan, penulis buku Anak Bukan Kertas Kosong, diundang menjadi pembicara. Bukik Setiawan dikenal sebagai salah-satu praktisi AI di Indonesia. “Appreciative Inquiry itu fokus pada upaya generatif, yakni menciptakan atau melahirkan. Jadi, AI tidak sama dengan berpikir positif” ungkap Bukik menjelaskan posisi AI secara filosofis.

Diskusi rutin LaPSI dihadiri oleh aktivis dari organisasi pelajar, mahasiswa, dan pegiat komunitas. Diskusi yang dilaksanakan di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah Jl. KH. Ahmad Dahlan ini mengundang antusias dari aktivis organisasi. “Saya kira, kita butuh diskusi intensif soal AI, ini sangat menarik” ungkap seorang peserta dari UMY.


AI merupakan metode yang banyak digunakan untuk melakukan pengembangan organisasi. AI bertopang pada kekuatan bertanya sebagai cara melahirkan sikap generatif penggerak organisasi. AI termasuk metode pengembangan organisasi non-deficit approach. IPM dalam beberapa tahun ini sedang mencoba menggunakan AI untuk pengembangan organisasi. AI di IPM tidak asing, sejak lokakarya tahun 2013 di Gresik, IPM memasukkannya sebagai bagian dari materi Muktamar Jakarta. AI punya kemampuan untuk mengikat komitmen aktivis melalui pemaknaan yang generatif atau organik, artinya  apresiasi keseharian yang mendorong transformasi sosial. (@FauAnwar)

Artikel keren lainnya:

Lapsi Undang Anjar Nugroho Bahas Paradigma Gerakan IPM

YogyakartaDasar filosofis gerakan sosial terletak pada paradigma yang digunakan. Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sebagai gerakan sosial memiliki paradigma gerakan yang dirumuskan sejak tahun 1990an. Lembaga Pengembangan Sumberdaya Insani (LaPSI) mengundang Anjar Nugroho, S.Ag, M.S.I, wakil rektor Universitas Muhammadiyah Purworejo untuk mendiskusikannya.

Anjar Nugroho sering disebut sebagai “Bapak Paradigma IPM”, sebab menjadi orang pertama yang menyusun paradigma gerakan IPM. Dalam diskusi Anjar Nugroho menyampaikan bahwa setiap organisasi butuh paradigma sebagai landasan gerakan. “Saat saya menjadi aktivis IPM, ada kesadaran untuk merumuskan paradigma gerakan IPM” ungkapnya.

Menurut Anjar Nugroho, paradigma gerakan IPM kemudian melahirkan sejumlah gagasan penting bagi organisasi. Gerakan Anti Kekerasan, Gerakan Kesadaran Gender, Gerakan Iqra adalah sebagian dari pengejawantahan paradigma gerakan IPM. “Paradigma itu soal mindset, paradigmalah yang menjelaskan identitas organisasi melampaui identitas politis. Maka paradigma menjadi landasan bagi organisasi dalam mencapai perubahan sosial” kata Wakil Ketua PP IRM 1998-2000.

Diskusi yang dilaksanakan 27 Februari ini dihadiri oleh sejumlah aktivis IPM. “Saya senang bisa mendengar langsung pengalaman Mas Anjar sewaktu menjadi aktivis IRM. Memberi inspirasi bagi aktivis IPM hari ini” ungkap Velandani Prakoso. (@FauAnwar)

Artikel keren lainnya:

Memekarkan Melati di Tanah Sriwijaya (Catatan PKPTMU 2016 di Palembang) #1

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah


Matahari menembus langit dengan awan yang hanya bergaris tipis-tipis saja. Siang itu, saya harus berangkat ke Palembang. Seperti biasa, saya berharap badan pesawat tetap kuat menahan derajat panas ketika terbang berjarak empatribu kaki dari tanah. Di satu sisi, sebenarnya ada perasaan senang meninggalkan kota Jogja yang satu tahun belakangan ini mungkin saja akan segera mendeklarasikan diri sebagai kota seribu hotel, dan menuju Palembang membawa proses yang—bersama tim fasilitator lain siapkan untuk PKPTMU.  

Siang yang terik dan macetnya kota Jogja menemani saya bersama teman-teman terbang ke Palembang. Kurang lebih empat bulan, tim fasilitator yang terdiri atas Mutmainnah, Arifah, Zulfikar, Kak Wiek, Azaki, Teguh, Huda, dan saya mempersiapkan Pelatihan Kader Paripurna Taruna Melati Utama (PKP TMU, selanjutnya saya singkat TMU) dengan beberapa proses penting.

Kepanitiaan Lokal yang Powerfull

Selalu ada sisi lain dari kepanitiaan lokal yang penting untuk dicatat. TMU di Palembang dibantu oleh panitia lokal yang berasal dari PW IPM Sumsel, beberapa PD IPM, dan PR IPM. PP IPM dibantu mempersiapkan teknis pelaksanaan yang luar biasa dari panitia lokal, termasuk tuan rumah Stikes Muhammadiyah serta PW Muhammadiyah Sumsel.

Sedikit cerita, siang hari pada tanggal 25 Januari, empat tim fasilitator sudah tiba di lokasi TMU yakni, Zulfikar, Muthmainnah, Arifah, dan saya sendiri. kami dijemput dari Bandara oleh Dimas, Ketua Umum PW IPM Sumsel. Satu jam setiba di penginapan Stikes Muhammadiyah kami dibawakan pempek oleh Alex dengan jumlah yang tidak mungkin dihabiskan oleh empat orang. Saya dan Zulfikar hanya bisa menatap varian-varian pempek dan berbagai olahannya termasuk otak-otak dengan tertawa terbahak-bahak. Setelah itu kami melakukan ramah-tamah dengan PWM dan Stikes Muhammadiyah pada sore hari. Malamnya kami mengadakan ramah-ramah antara PW IPM Sumsel, Panitia Lokal, Peserta, dan Tim Fasilitator yang di-handle oleh PP IPM.

Selama kurang lebih seminggu baik peserta maupun tim fasilitator dibantu untuk menyukseskan kegiatan. Ya, pada umumnya, setahu saya kekuatan panitia lokal adalah kunci dari proses kegiatan apapun, termasuk pelatihan. Kerjasama mereka membantu kegiatan ini bekerja lebih maksimal.         

Soal Regenerasi dan Kuota Berbasis Gender

Beberapa hari setelah pengumuman peserta TMU dipublikasikan di Website PP IPM, Tim Fasilitator memperoleh sejumlah pertanyaan yang dilontarkan pada saat Konpiwil di Pucang, Surabaya. Beberapa pertanyaan itu berkaitan dengan proses seleksi peserta, dan orientasi TMU, serta kemungkinan diadakan TMU sesi II untuk memfasilitasi peminat TMU yang tinggi dari setiap provinsi. Perlu dicatat, tidak semua jawaban pertanyaan itu dapat dijawab tim fasilitator ketika itu. Ada banyak hal yang harus dikerjakan segera, dan tidak ada waktu untuk memberi respon sesegera mungkin. Meski begitu, secara umum proses seleksi peserta TMU berjalan atas dua prinsip utama, pertama adalah pertimbangan regenerasi. Tidak dipungkiri, peminat TMU tahun 2016 ini tidak sedikit, padahal sebagaimana idealnya format pelatihan, partisipannya tidak mungkin dalam kelompok besar. Maksimal 31 partisipan yang dapat diterima oleh tim fasilitator, ini berkaitan dengan pertimbangan pedagogik. Jumlah 31 partisipan sebenarnya sudah termasuk besar. Tentu saja pertimbangannya tidak sesederhana itu, terjadi beragam diskusi dalam proses seleksi peserta, termasuk penilaian terhadap paper yang dikirim oleh tiap peserta. Menawarkan ide yang segar, Otentisitas (no plagiarism), dan kemampuan mengelola diskursus yang kritis, menjadi pertimbangan terhadap paper peserta.

Kedua, adalah kuota gender. Harus diakui bahwa IPM adalah organisasi besar, tim fasilitator harus memberikan kuota gender yang adil. Ipmawati yang mengirimkan berkas mendapatkan kuota khusus, sebab masa depan IPM sangat bergantung pada kepemimpinan yang inspiratif dan berdaya-tahan. Jenis kepemimpinan seperti itu hanya mampu terjadi jika keterlibatan perempuan dalam organisasi diadvokasi oleh segala pihak. Maka tim Fasilitator mencoba membuka kesempatan kepada Ipmawati masuk ke dalam proses pembelajaran di TMU. Ide ini pun sebenarnya tidak serta merta diterima oleh beberapa rekan di fasilitator, tetapi sejumlah argumentasi sangat mudah untuk menunjukkan bahwa advokasi kuota gender itu penting. Kalau disaksikan sungguh-sungguh, kepesertaan Ipmawati dalam TMU membuktikan banyak hal menarik. Mereka mampu menunjukkan dinamika yang baik.

Proses seleksi sebenarnya merupakan hak prerogatif tim fasilitator dan sama sekali tidak dibiarkan untuk diintervensi oleh kepentingan apapun.

Proses Pembelajaran

Pelaksanaan TMU 2016 di Palembang diadakan sejak tanggal 26 Januari hingga 1 Februari. Waktu ini termasuk yang paling singkat dalam sejarah TMU. Nampaknya ke depan, TMU harus dibatasi minimal 9-10 hari sebab beberapa pertimbangan.

Penggunaan AI

Salah-satu hal menarik dari TMU kali ini adalah penggunaan Appreciative Inquiry (AI). Materi AI sebenarnya tidak asing di IPM. Dua tahun belakangan ini, IPM mencoba menggunakan AI sebagai dasar pengembangan organisasi. Sejak Semiloknas di Gresik tahun 2014, hingga Muktamar IPM XIX di Jakarta AI menjadi bahan materi. Sejak saat itu, AI intens menjadi bahan diskusi IPM. Beberapa wilayah juga mulai belajar mengenal AI di organisasi. TMU di Palembang ini tim fasilitator meminta bantuan Mas Widi sebagai fasilitator sekaligus pemateri AI.  

Proses belajar AI di TMU di-setting berbeda dari praktik mengenal AI di TM III. Di TMU, praktik AI dimaksudkan sebagai bahan dasar untuk melakukan riset, meskipun tujuan utamanya adalah memberikan alternatif tool bagi peserta TMU dalam mengelola diskursus, termasuk menawarkan model pengembangan organisasi. Awalnya alokasi materi hanya disediakan dua jam dengan pertimbangan sesi lanjutan dapat dilakukan pada sesi FGD. Meski begitu tampaknya proses pengenalan peserta harus dielaborasi lebih lama dari waktu yang disediakan. Tetapi hal ini disanggupi sendiri oleh Mas Widi yang akhirnya memperpanjang jadwalnya hingga dua hari. Mas Widi mempersiapkan presentasi yang direvisinya setiap sesi pembelajaran selesai, dan mengajak diskusi tim fasilitator untuk menceritakan proses yang sudah dilewati, dan meminta saran serta rekomendasi untuk penggunaan waktu. Hari pertama mas Widi menemani peserta untuk mengeksplorasi bersama soal AI dan praktiknya untuk riset. Pada hari kedua, mas Widi membantu briefing peserta sebelum praktik riset AI ke lembaga dan gerakan sosial yakni TB Care Aisyiyah, Walhi, dan Komunitas Peduli Anak Jalanan. Selesai praktik lapangan riset AI, proses selanjutnya adalah membantu peserta menyusunnya menjadi laporan semi-riset berbasis AI. Hasil riset tersebut kemudian dikembangkan sebagai bahan-bahan dasar untuk FGD Isu Muktamar dan RTL.

Isu dan RTL
Peserta TMU memilih fokus pada empat isu berikut, (1) Konservasi Ekologi dan Tanggap Kebencanaan, (2) Jihad Literasi, (3) Sekolah Ramah Anak, (4) Memanfaatkan Bonus Demografi. Masing-masing isu sudah diolah oleh peserta TMU dan diserahkan kepada tim materi Muktamar yang kebetulan dikordinatori oleh saya sendiri. 

Artikel keren lainnya:

IPM dan Gerakan Perdamaian; Catatan Diskusi

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah


Menjelang KONPIWIL dan agenda taruna melati utama, beberapa rekan dari PP IPM; Fauzan, Zulfikar, dan Teguh, beserta dua pegiat LaPSI; Uswah, dan Sadidah, terlibat dalam diskusi mengenai gerakan perdamaian. Diskusi tersebut tentu saja dilakukan dalam rangka memperkuat agenda-agenda gerakan IPM dalam dinamika praktis yang tengah terjadi di dunia pendidikan semacam; tawuran pelajar, bullying, diskriminasi, serta dalam rangka mengasah dua pendekatan baru yang tengah digunakan yakni; Appreciative Inquiry (AI) dan pendekatan ekologi. Meskipun, pendekatan yang terakhir baru saja muncul dari beberapa diskusi terbatas serta diskusi grup terfokus.

Persepsi soal Kekerasan
Bicara soal gerakan perdamaian, pada satu sisi problematis. Alasannya ialah bahwa pembahasan tentang perdamaian, selalu diawali oleh anomali sosial. Tak berhenti di situ, “penting sekali bagi setiap gerakan perdamaian untuk merefleksikan hal-hal fundamental soal kekerasan, khususnya konflik” kata Teguh. Menurutnya, penting untuk merefleksikan di mana posisi konflik dan perdamaian secara utuh. Misalnya apakah perdamaian dan konflik itu saling meniscayakan?. Pertanyaan itu datang dari refleksi mendasar yang mempengaruhi implikasi-implikasi filosofis maupun praksis. “Kita harus memahami ini supaya gerak praksisnya lebih fleksibel, artinya nanti mempengaruhi daya-tahan pegiatnya masing-masing”.

Pendekatan ekologis
Sejak tahun 1997, percobaan pendekatan ekologi dalam mengurai persoalan kekerasan di dunia pendidikan mulai digunakan. Pendekatan ekologi menyatakan bahwa kekerasan di dalam dunia pendidikan merupakan manifestasi dari kompleksitas relasional yang disekuilibrium antara manusia dengan manusia, serta antara manusia dengan alam. Pendekatan ini pada umumnya digunakan dengan melibatkan ekosistem di dalam sekolah sebagai komunitas yang integral. Partisipan pendidikan, kepala sekolah, guru, pegawai sekolah, satpam, dan orangtua berada dalam rantai komunitas yang saling mempengaruhi. Pendekatan ekologi menggunakan relasi-relasi ini sebagai cara untuk mendekati akar (genealogi) dan riak (rhizomatik) kekerasan.

Kelebihan pendekatan ekologi karena peka terhadap—tidak hanya pada genealogi, tetapi juga pada relasi rhizomatik dari kekerasan. Artinya selama ini analisis genealogis yang selalu atomistik, “kembali pada diri masing-masing” yang terlalu deterministik terhadap proses kekerasan (being violence), menjadi begitu lentur untuk melihat bagaimana sebenarnya kekerasan terjadi, dan cara yang tepat untuk mengeremnya. Pendekatan ekologi yang mengakomodir relasi rhizomatik misalnya melihat bahwa kekerasan dan konflik terjadi bersamaan dengan menghilangnya empati terhadap alam, yang disebut sebagai proses objektivasi; menjadikan segala sesuatu yang eksternal menjadi asing. Hal ini terlihat dari berjaraknya pendidikan dan pengajaran, kuatnya model pendidikan berbasis reward and punisment system, serta apresiasi seni serta sastra yang hilang dari sekolah.

Kekerasan dan jaringan rhizomatik juga direpresentasikan dari berkurangnya otonomi relasional antara pendidik dan partisipan pendidik. Agenda perdamaian seperti; menghentikan diskriminasi, mengurangi bias gender, serta kekerasan fisik dianggap begitu sulit sebab hal-hal itu seakan menyerap menjadi bagian dari ‘habitus’. Seorang peserta diskusi mengatakan, “bullying itu kadang dianggap biasa, apalagi obrolan-obrolan yang bias gender..itu paling sering..dalihnya, itu sudah kebiasaan. Kalau di grup WA atau obrolan langsung, ada bullying itu dianggap bikin rame dan mengikat persaudaraan, padahal kan tidak begitu..kita kurang merefleksikannya makanya terkesan telah menjadi kebiasaan”. Kekhasan pendekatan ekologi dengan analisa rhizomatik akan membantu menguraikan hal-hal rumit semacam ini.

Bagaimana Menguatkan Gerakan Perdamaian?
Ada dua fakta menarik yang sebenarnya telah menjadi kecenderungan akhir-akhir ini, yakni pemanfaatan kebiasaan lokal untuk merekonstruksi kebiasaan baru, serta penggunaan model pendidikan partisipatoris dan apresiatif dalam setiap setting pendidikan perdamaian. Sewaktu saya bertanya kepada Defit, “dalam aktivitas apakah orangtua begitu antusias mendorong anaknya selama rangkaian kegiatan peace-santren?”. Menurut Defit, pada aktivitas tahfidz orangtua begitu kolaboratif dan antusias. Artinya penting sekali bagi disain pendidikan perdamaian untuk memperhatikan aktivitas-aktivitas yang memunculkan minat tinggi dari orangtua. Aktivitas-aktivitas seperti ini memungkinkan kolaborasi yang maksimal dari orangtua. Selain itu, juga perlu memperhatikan aktivitas pendidikan perdamaian seperti yang apa yang didukung secara maksimal oleh orangtua maupun partisipan pendidikan yang pada umumnya berusia 12-17 tahun. Hal ini akan memperkuat dukungan stakeholder dalam membantu proses pendidikan perdamaian. 

Bersambung..

Artikel keren lainnya: